Hari Ibu, Antara Perayaan Simbolik dan Kehidupan Anak yang Lebih Baik di Masa Datang
- ANTARA
Mengakui kenyataan ini bukan berarti meniadakan cinta dan pengorbanan ibu. Namun memahami konteks juga tidak serta-merta menghapus dampak.
Relasi yang melukai tetap meninggalkan jejak, meskipun lahir dari niat yang dianggap baik.
Memutus siklus
Di titik inilah Hari Ibu dapat diberi makna yang lebih luas. Bukan semata sebagai perayaan peran, melainkan sebagai ruang refleksi bersama tentang relasi dan tanggung jawab lintas generasi.
Penghormatan terhadap ibu tidak harus berhenti pada puja-puji, tetapi dapat berkembang menjadi upaya sadar untuk membangun hubungan yang lebih sehat.
Mengakui bahwa sebagian relasi ibu dan anak menyisakan luka bukanlah bentuk pembangkangan moral.
Sebaliknya, pengakuan tersebut menjadi langkah awal untuk memahami bahwa cinta tidak selalu hadir dalam praktik yang tepat.
Niat baik tidak selalu menghasilkan dampak yang baik, terutama ketika kuasa, ketakutan, dan komunikasi yang timpang dibiarkan berlangsung tanpa koreksi.
Bagi generasi yang hari ini menjadi orang tua, atau sedang menuju ke sana, refleksi ini menjadi penting.
Pertanyaannya bukan lagi siapa ibu yang paling berkorban, melainkan bagaimana keibuan dijalankan dalam keseharian.
Apakah anak diberi ruang untuk bertumbuh sebagai individu yang utuh, atau justru dipelihara dalam kepatuhan yang sunyi.
Pendekatan pengasuhan reflektif menekankan pentingnya kesadaran diri orang tua terhadap luka dan pola relasinya sendiri, agar tidak diwariskan secara otomatis kepada anak.
Memutus siklus tidak berarti memutus hubungan. Ia berarti mengganti cara. Mengganti ancaman dengan dialog, kontrol dengan kepercayaan, serta tuntutan moral dengan kehadiran emosional.
Ia juga berarti berani menyadari bahwa kehilangan kendali bukan kehilangan cinta. Anak yang dewasa tidak sedang meninggalkan orang tuanya, melainkan sedang menjalani hidupnya sendiri.
Hari Ibu dapat menjadi momentum untuk menggeser cara pandang tersebut. Bukan hari untuk menutup mata dari kenyataan yang tidak nyaman, melainkan kesempatan untuk memperluas pemahaman tentang kasih yang lebih adil.
Kasih yang tidak menuntut, tidak melukai, dan tidak menjadikan pengorbanan sebagai alat kendali.
Generasi yang sadar akan lukanya memiliki tanggung jawab etis untuk tidak mewariskannya. Kesadaran ini tidak selalu mudah, karena ia menuntut keberanian untuk belajar, mengoreksi diri, dan pada saat tertentu, meminta maaf.
Load more