Hari Ibu, Antara Perayaan Simbolik dan Kehidupan Anak yang Lebih Baik di Masa Datang
- ANTARA
Ada (juga) luka
Di balik narasi perayaan yang rapi, relasi ibu dan anak dalam kehidupan nyata sering kali jauh lebih rumit. Tidak semua hubungan dibangun di atas kehangatan dan rasa aman.
Dalam sejumlah kasus, relasi tersebut justru diwarnai ketegangan yang berlangsung lama dan kerap tak terucapkan.
Salah satu pola yang muncul adalah penggunaan relasi kuasa dalam pengasuhan, bahkan ketika anak telah memasuki usia dewasa.
Atas nama pengalaman, pengorbanan, atau kasih sayang, sebagian ibu tetap merasa berhak mengatur pilihan hidup anak, dari urusan karier hingga relasi personal.
Kontrol ini sering tidak dikenali sebagai masalah, karena dibungkus dalam bahasa kepedulian.
Dalam konteks masyarakat religius, tekanan tersebut kadang diperkuat oleh istilah moral dan spiritual.
Ancaman “durhaka” menjadi batas yang membuat anak sulit bersuara. Kepatuhan lahir bukan dari kedekatan emosional, melainkan dari rasa takut melanggar norma dan nilai yang dianggap sakral.
Hubungan pun berjalan timpang: hormat terjaga, tetapi keintiman menghilang.
John Bowlby dan Mary Ainsworth, dua psikolog yang mengembangkan Teori Kelekatan mengungkapkan bahwa relasi yang dibangun di atas rasa takut dan kontrol cenderung melahirkan kepatuhan semu, bukan kelekatan emosional yang sehat.
Dominasi juga tidak selalu memerlukan kuasa nyata. Dalam banyak relasi, kendali dipertahankan melalui emosi: mudah tersinggung, menyimpan marah, atau memosisikan diri sebagai pihak yang selalu terluka.
Perbedaan pendapat dibaca sebagai pembangkangan, sementara dialog kerap berhenti, sebelum benar-benar dimulai.
Kesenjangan pengalaman antargenerasi turut memperumit situasi. Banyak ibu dibesarkan dalam lingkungan dengan pilihan hidup terbatas dan minim ruang dialog emosional.
Ketahanan lebih dihargai daripada keterbukaan perasaan. Pola ini kemudian terbawa ke praktik pengasuhan, tanpa selalu disadari dampaknya bagi anak.
Penting dicatat, kekerasan dalam relasi keluarga tidak selalu berwujud fisik atau verbal yang kasar. Ia bisa hadir dalam bentuk simbolik dan emosional, rapi, berulang, dan sulit dikenali.
Tak sedikit anak baru memahami bahwa relasinya tidak sehat setelah dewasa, ketika bahasa untuk mengenali luka akhirnya tersedia.
Load more