Komisi Reformasi Polri Sepakat Gunakan Omnibus Law untuk Revisi UU Polri
- Abdul Gani Siregar/tvOnenews.com
Jakarta, tvOnenews.com - Komisi Percepatan Reformasi Polri mulai masuk tahap krusial dalam upaya membenahi tata kelola kepolisian.
Setelah lebih dari sebulan menyerap aspirasi masyarakat, komisi percepatan reformasi sepakat mendorong penyelesaian persoalan penugasan perwira Polri di kementerian dan lembaga lewat skema omnibus law.
Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie, mengatakan pihaknya telah menerima masukan lebih dari 80 kelompok masyarakat, serta ribuan tanggapan tertulis melalui WhatsApp dan email. Komisi juga turun langsung ke sejumlah daerah, dari Aceh hingga Papua.
“Sesudah satu bulan kita menghimpun masukan-masukan dari lebih dari 80-an kelompok masyarakat dan ribuan masukan tertulis melalui grup WA dan email, plus kami juga berkunjung ke beberapa daerah,” ujar Jimly saat wawancara usai Rapat Pleno Komisi Percepatan Reformasi Polri di Jakarta Selatan, Kamis (18/12).
Berdasarkan hasil diskusi tersebut, laporan akhir komisi kepada Presiden RI tidak hanya berisi evaluasi, tetapi juga dilengkapi dengan draf revisi Undang-Undang Polri serta rancangan sejumlah peraturan pemerintah (PP) yang belum tersusun.
Salah satunya PP pelaksanaan UU ASN yang tertunda sejak 2023. Untuk mengatasi tumpang tindih aturan lintas sektor, komisi sepakat menggunakan pendekatan omnibus law.
“Kami sepakat untuk menggunakan metode omnibus baik dalam perancangan undang-undangnya maupun perancangan PP, karena banyak undang-undang lain yang saling berkaitan,” kata Jimly.
Ia mencontohkan keterkaitan dengan UU Lingkungan Hidup, Kehutanan, hingga UU TNI, yang selama ini sering menimbulkan masalah ketika bersinggungan dengan kewenangan Polri.
Keluhan soal Perpol yang dianggap melampaui kewenangan lintas instansi pun akan dinaikkan ke aturan yang lebih tinggi agar mengikat semua lembaga.
Sementara itu, anggota komisi Otto Hasibuan menyoroti perdebatan hukum yang muncul setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal penempatan anggota Polri di jabatan sipil.
Menurutnya, perdebatan itu sering melenceng dari inti persoalan.
“Jangan kita terjebak dengan perdebatan-perdebatan hukumnya, tapi kita harus melihat substansi masalahnya. Apakah memang perlu jabatan-jabatan tertentu yang ada kaitannya dengan Polri itu boleh atau wajib diduduki oleh Polri,” tegas Otto.
Otto juga menyebut, di internal kementerian sendiri terdapat keberatan jika jabatan tertentu diisi perwira Polri.
Karena itu, ia mendorong adanya kesepahaman lintas lembaga yang dikoordinasikan oleh Kemenko Hukum, HAM, dan Imipas.
Perdebatan semakin rumit karena adanya perbedaan tafsir soal apakah putusan MK berlaku langsung atau tidak. Otto mengingatkan, jika berlaku seketika, dampak hukumnya bisa luas.
“Kalau langsung seketika itu juga berlaku, maka keputusan-keputusan pejabat yang berasal dari Polri itu bisa dipersoalkan dan berpotensi digugat ke PTUN,” ujarnya.
Di sisi lain, Anggota Komisi, Mahfud MD menyatakan keputusan soal Perpol Nomor 10 Tahun 2025 akan diumumkan oleh Mabes Polri sendiri.
“Yang akan mengumumkan nasib Perpol 10 Tahun 2025 itu adalah Mabes Polri. Momentumnya nanti akan ditentukan,” kata Mahfud. (rpi/muu)
Load more