Soal Pemerintah Bakal Terbitkan PP Terkait UMP 2026, KSPI: Itu Ngawur dan Ngaco
- tvOnenews.com/Julio Trisaputra
Jakarta, tvOnenews.com - Mencuat kabar terkait pemerintah bakal terbitkan PP soal UMP 2026. Sontak, hal ini menuai sorotan dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Bahkan, KSPI menyatakan menolak keras usulan kenaikan upah minimum tahun 2026 versi Menteri Ketenagakerjaan Yassierli dan pengusaha.
Presiden KSPI Said Iqbal, menegaskan, perjuangan buruh di seluruh Indonesia tetap berpatokan pada tuntutan kenaikan 8,5% hingga 10,5%.
“Angka 8,5 hingga 10,5 persen itulah yang menjadi acuan bagi serikat buruh di seluruh daerah, baik di Dewan Pengupahan provinsi maupun kabupaten/kota. Selain itu, kami juga memperjuangkan adanya upah minimum sektoral yang nilainya harus lebih besar daripada UMK,” jelas Iqbal, Sabtu (9/11/2025).
Selain itu, ia sebutkan, bahwa KSPI menolak rencana pemerintah melalui Menaker dan Wamenaker yang hendak mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan.
“PP ini belum dibahas dengan serikat pekerja. Dan baru akan diterbitkan menjelang penetapan upah minimum. Jadi kalau tiba-tiba PP itu diterbitkan, itu ngawur dan ngaco,” ucap Iqbal.
Ia juga menilai pernyataan Ketua Dewan Pengupahan Nasional yang mengaku telah menghadap Presiden dan menyatakan Presiden setuju dengan formula baru penetapan upah minimum adalah menyesatkan.
“Kami menduga itu bohong. Tidak benar Presiden Prabowo setuju terhadap formula baru tersebut,” bebernya.
Di sisi lain, ia juga menyoroti pernyataan pejabat pemerintah yang seolah ingin membuat aturan tanpa melibatkan serikat buruh.
“Bagaimana mungkin kebijakan yang menyangkut upah buruh dibuat tanpa melibatkan buruh sendiri? Ini bertentangan dengan semangat dialog sosial dan prinsip keadilan,” ujarnya.
Ia menegaskan, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023, kenaikan upah minimum harus mengacu pada pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
“Inflasi dari Oktober 2024 sampai September 2025 sebesar 2,65%, dan pertumbuhan ekonomi 5,12%. Adapun indeks tertentu adalah hak prerogatif Presiden, bukan diputuskan oleh sekumpulan orang di luar mandat konstitusi,” jelasnya.
Menurut Iqbal, tahun lalu Presiden Prabowo memutuskan indeks tertentu mendekati 0,9, dan dengan kondisi makro ekonomi yang hampir sama. Dengan demikian, tidak ada alasan indeks tahun ini diturunkan menjadi 0,2–0,7.
“Jika indeks tertentu diturunkan, artinya Menaker justru melindungi pengusaha hitam yang ingin membayar upah murah,” ujarnya.
Load more