Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Masih Diproses, Akademisi Nilai Bisa Jadi Simbol Rekonsiliasi Bangsa
- Dok. Dutch National Archives via commons.wikimedia.com/Evers, Joost/Anefo
Jakarta, tvOnenews.com - Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, kembali mencuat dan menjadi sorotan publik. Isu ini memicu perdebatan luas di tengah masyarakat, antara yang menilai Soeharto layak mendapat pengakuan atas jasanya, dan yang menolak karena alasan sejarah masa lalu.
Hingga awal November 2025, pemerintah belum mengeluarkan keputusan resmi terkait penganugerahan gelar tersebut. Meski begitu, nama Soeharto tercatat kembali dalam daftar 40 calon penerima gelar Pahlawan Nasional yang diusulkan oleh Kementerian Sosial bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP).
Daftar nama calon itu telah diserahkan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk dipertimbangkan. Proses ini merupakan bagian dari mekanisme tahunan menjelang peringatan Hari Pahlawan pada 10 November, di mana pemerintah menyeleksi tokoh-tokoh yang dinilai berjasa besar bagi bangsa.
Namun, hingga saat ini, belum ada keputusan final dari Presiden maupun Kementerian Sosial mengenai apakah Soeharto akan resmi mendapat gelar tersebut. Pemerintah menegaskan bahwa setiap usulan masih melalui kajian mendalam dan verifikasi historis dari berbagai pihak, termasuk sejarawan dan akademisi.
Usulan ini juga tak lepas dari kontroversi politik dan moral. Beberapa kalangan menilai Soeharto memiliki jasa besar dalam membangun ekonomi nasional, menciptakan stabilitas, dan menjaga ketahanan pangan. Namun di sisi lain, penolak beralasan bahwa masa pemerintahannya juga meninggalkan catatan pelanggaran HAM dan pembatasan kebebasan politik.
Perdebatan ini mencerminkan dilema bangsa dalam menilai warisan sejarah tokoh besar seperti Soeharto — antara jasa pembangunan dan luka masa lalu. Pemerintah pun diminta berhati-hati dalam mengambil keputusan agar tidak menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.
Akademisi IAIN Gorontalo, Dr. Sahmin Madina, menilai bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto justru dapat menjadi simbol rekonsiliasi nasional dan kedewasaan politik bangsa.
Menurutnya, penolakan terhadap gelar tersebut karena alasan masa lalu justru menunjukkan bahwa sebagian elite politik masih belum berdamai dengan sejarahnya.
“Kalau luka sejarah terus dijadikan alasan politik, kita akan sulit maju. Padahal bangsa yang besar adalah bangsa yang berani mengakui masa lalunya, baik sisi gelap maupun cemerlangnya,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Ia menambahkan, keputusan menerima atau menolak sosok Soeharto semestinya didasari penilaian objektif, bukan emosional.
“Soeharto adalah bagian penting dari perjalanan sejarah Indonesia. Ada catatan kelam, iya, tapi juga ada jasa besar dalam membangun fondasi ekonomi, pangan, dan stabilitas nasional,” tegasnya.
Dr. Sahmin menilai, pendekatan dendam sejarah hanya akan memperpanjang polarisasi. “Gus Dur pernah memulihkan kehormatan para tokoh yang dulu dianggap lawan. Taufiq Kiemas memperjuangkan konsep Bhinneka Tunggal Ika. Dan kini, Presiden Prabowo menunjukkan kebesaran hati dengan merangkul semua pihak,” katanya.
Ia menutup pernyataannya dengan ajakan untuk menatap masa depan dengan semangat rekonsiliasi.
“Rekonsiliasi bukan berarti melupakan masa lalu, tapi menatap ke depan dengan kesadaran bahwa setiap pemimpin, termasuk Soeharto, punya kontribusi yang tak bisa dihapus begitu saja. Kalau Gus Dur bisa memaafkan, kalau Prabowo bisa merangkul semua, kenapa kita tidak bisa berdamai dengan sejarah kita sendiri?” pungkasnya. (nsp)
Load more