Kesaksian Sukitman Agen Polisi Saksi Mata G30S PKI, Cuma Modal Sepeda Temukan Lubang Buaya: Mereka Diceburin, Ditembak
- Kolase Museum.polri.go.id & Impact
Jakarta, tvOnenews.com - AKBP (Purn) Sukitman, anggota agen polisi saksi sejarah menemukan Lubang Buaya, sumur tua sebagai tempat penumpukan jasad tujuh Pahlawan Revolusi saat Peristiwa G30S PKI.
Berkat jasa Sukitman, tujuh Pahlawan Revolusi yang menjadi korban penculikan dan pembantaian G30S PKI berhasil ditemukan.
Nama enam jenderal yang dibuang, antara lain Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal Raden Soeprapto, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono, Mayor Jenderal Siswondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.
Kemudian, satu perwira yang gugur dan jasadnya dibuang ke Lubang Buaya, yakni Kapten Pierre Tendean selaku ajudan Jenderal Nasution.
Beruntungnya, Jenderal Ahmad Haris (AH) Nasution berhasil selamat dari Tragedi G30S PKI, meski putri kecilnya Ade Irma Suryani Nasution menjadi korban kekejaman pasukan Cakrabirawa.
- Istimewa-pahlawan revolusi dari website desa buleleng
Pada 3 Oktober 1965, jasad tujuh Pahlawan Revolusi tersebut berhasil ditemukan berkat laporan dari Agen Polisi Dua Sukitman TNI AD.
Seperti apa kisah Sukitman di Tragedi G30S PKI? Simak di bawah ini!
Melansir dari kanal YouTube Dare Debil, Rabu (1/10/2025), Sukitman mulanya menceritakan dirinya adalah seorang tamatan SMA lahir di Desa Cimanggu, Palabuhanratu pada 30 Maret 1943.
Namun begitu, Sukitman tidak menyerah dan ikut pendidikan Sekolah Polisi Negara (SPN) di Kramat Jati, Jakarta Timur.
"Saya awalnya pergi ke Jakarta cuma cari pekerjaan, dengan niat tulus, saya akhirnya diterima jadi polisi negara dididik," kata Sukitman.
- Tangkapan layar YouTube Dare Debil
Sukitman Lagi Patroli Pakai Sepeda
Pada 30 September 1965 di malam hari, Sukitman kebetulan mendapat tugas untuk berjaga-jaga di sekitaran Guest House yang berlokasi di Jalan Iskandarsyah Raya, Jakarta Selatan.
Sukitman tidak sendirian, ia saat itu patroli ditemani oleh rekannya, Sutarso.
"Namanya polisi perintis harus berputar keliling 100-300 meter selalu gantian kontrol," ujar Sukitman.
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, Sukitman terkejut mendengar serentetan tembakan di area patrolinya.
Pekerjaan patrolinya sangat sederhana, ia hanya modal menggunakan sepeda namun dibekali oleh senjata.
"Saya berangkat menelusuri tempat suara tembakan itu pakai sepeda. Karena gencaran tembakannya kencang, saya berhenti lalu turun dan lemparkan senjata, kemudian angkat tangan," jelasnya.
Situasi saat itu sedang tegang, sehingga ia dilempar ke dalam kabin sebuah mobil.
"Suasana tembakan itu sangat gencar, secara terus-menerus. Pasukannya banyak banget, ada yang serbu satu rumah, sergap dari kanan belakang. Mungkin ada 100-200 orang lebih," paparnya.
Disekap dan Saksikan Aksi Kekejaman Pasukan G30S PKI
Ia mengaku setelah dibawa ke kabin tidak mengetahui apa pun karena posisi kepala juga sudah dalam kondisi penyekapan.
Ia yang saat itu masih berusia 22 tahun, mau tak mau harus ikut diangkut menggunakan mobil seperti bus untuk dibawa ke Lubang Buaya.
"Saya turun lalu ikatan saya dibuka, kemudian saya diseret. Saat itu samar-samar saya mendengar 'Yani'," katanya.
Merujuk dari bukunya bertajuk Kesaksian Sukitman Penemu Sumur Lubang Buaya, pada momen inilah Sukitman menjadi saksi kekejaman G30S PKI.
Ia melihat banyak orang yang mengaku sukarelawan dan sukarelawati. Namun menurutnya, tampilan mereka seperti ABRI.
Kehadiran mereka membantu sejumlah anggota Cakrabirawa turut membantai tujuh putra terbaik bangsa tersebut.
Saat pembantaian, satu per satu jasad enam jenderal dan satu perwira diceburkan ke dalam Lubang Buaya secara menumpuk.
"Ganyang kabir, ganyang kabir, itu kata-kata kapitalis. Satu per satu dimasukkan. Orang yang masuk duluan juga sambil ditembak dari atas. Kalau yang masih hidup, dia diikat, ditodong senjata kanan-kiri dan dipaksa tandatangan sesuatu tapi akhirnya berontak," paparnya.
"Hati saya waktu itu nggak karuan. Mungkin giliran saya karena saat itu (Pahlawan Revolusi) secara bergiliran masuk ke dalam sumur," sambungnya.
Sukitman Lapor Kejadian
Pada 1 Oktober 1965 sore hari, Sukitman lari dari Lubang Buaya. Hal itu terjadi ketika penculiknya sedang lengah.
Meski sebelumnya melihat peristiwa tak lazim, Sukitman mau tau mau harus kabur dan segera melaporkan kepada pasukan keamanan.
Pada 3 Oktober 1965, Sukitman akhirnya berhasil melaporkan atas kejadian tersebut dan menginformasikan lokasi sumur tersebut.
Mengacu pada buku Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Letnan Sintong Panjaitan, Pimpinan Pasukan RPKAD menceritakan pihaknya segera melakukan evakuas.
Namun demikian, mereka tak kuasa karena kondisi langit mulai gelap, bahkan situasinya tidak memungkinkan karena perlengkapan dari pasukan RPKAD terbatas.
Mayor Jenderal (Mayjen) Soeharto yang saat itu menjadi Pangkostrad TNI AD akhirnya meminta bantuan kepada Panglima KKO (Marinir) Mayjen Hartono.
Rombongan KKO akhirnya bergegas menuju Lubang Buaya pada 4 Oktober 1965 sekitar pukul 04.00 WIB, meski saat itu mereka tidak mengetahui lokasi sumur tersebut.
Pada pertengahan hari, Komandan KIPAM KKO-AL Kapten Winanto memimpin proses evakuasi. Mereka yang dibantu prajurit RPKAD.
Satu persatu jenazah tujuh pahlawan tersebut berhasil diangkut setelah melakukan proses evakuasi kurang lebih selama dua jam.
(hap)
Load more