LKMN Desak DPR dan Pemerintah Segera Sahkan RUU Perampasan Aset, Krisis Politik dan Sosial Harus Segera Diredam
- Ist
Jakarta, tvOnenews.com - Indonesia kini berada di persimpangan penting dalam perjalanan politik dan sosialnya. Seperti diketahui, tensi publik kian meninggi dengan maraknya aksi protes di sejumlah kota besar beberapa pekan terakhir.
Gelombang demo itu tidak hanya menandai kekecewaan rakyat, tetapi juga memperlihatkan bahwa situasi politik, sosial, dan ekonomi telah memasuki fase kritis. Bentrokan yang terjadi menimbulkan korban, menunjukkan kondisi sosial yang kian genting.
Laporan terbaru mencatat setidaknya tujuh orang tewas akibat benturan massa dengan aparat di berbagai daerah. Sementara itu, puluhan lainnya dari kalangan sipil maupun aparat mengalami luka-luka.
“Kehilangan nyawa rakyat adalah alarm keras bagi negara, bahwa ada sesuatu yang keliru dan mendesak untuk segera diperbaiki,” kata Direktur Lembaga Kaukus Muda Nusantara (LKMN) Fakhrizal Lukman kepada wartawan, Selasa (2/9/2025).
Menurutnya, masyarakat turun ke jalan bukan sekadar untuk bersuara, melainkan karena kepercayaan terhadap negara makin rapuh. Publik kini menuntut langkah konkret, bukan lagi sekadar janji.
Mengapa RUU Perampasan Aset Mendesak?
"Korupsi telah lama menjadi penyakit kronis negeri ini. Ratusan bahkan ribuan triliun rupiah raib, menguap bersama praktik busuk para koruptor."
"Di sisi lain, hukum kita selama ini terjebak pada paradigma pidana semata: menghukum orang, tapi gagal merebut kembali hasil kejahatan," ujarnya.
RUU Perampasan Aset hadir untuk menutup kekosongan itu. Instrumen hukum ini memberi wewenang negara merampas harta hasil korupsi, pencucian uang, dan kejahatan ekonomi lainnya tanpa harus menunggu putusan pidana inkrah.
"Dengan kata lain, fokusnya bukan sekadar menghukum pelaku, tapi mengembalikan aset kepada rakyat," tegas Fakhrizal.
RUU sebagai Jawaban Politik atas Krisis Sosial
Gelombang protes, kata Fakhrizal, bukan hanya akibat satu-dua kebijakan, melainkan akumulasi frustrasi publik terhadap ketidakadilan struktural. Saat rakyat melihat elit berdebat di Senayan, harga kebutuhan pokok melonjak, pengangguran meningkat, sementara korupsi terus dibiarkan.
"Di tengah kondisi ini, RUU Perampasan Aset menjadi semacam jalan darurat politik untuk memulihkan kepercayaan rakyat.
Bayangkan jika dalam beberapa minggu ke depan RUU ini disahkan, lalu pemerintah bergerak cepat, merampas aset koruptor besar, mengumumkan hasilnya secara transparan, dan mengalirkan kembali dana itu untuk subsidi pendidikan, kesehatan, serta perbaikan ekonomi rakyat kecil," imbuhnya.
Menurutnya, dampaknya tidak hanya pada penegakan hukum, tetapi juga terhadap pemulihan moral bangsa. Protes rakyat akan mereda bila melihat negara benar-benar berpihak.
Risiko Penundaan = Menambah Luka
"Namun, jika DPR dan pemerintah terus menunda, risikonya jauh lebih besar. Setiap hari penundaan berarti potensi bertambahnya korban jiwa di jalanan. Setiap hari penundaan berarti semakin banyak gedung terbakar dan harta publik yang rusak. Dan setiap hari penundaan berarti semakin dalamnya jurang ketidakpercayaan antara rakyat dan negara.
Kita tidak boleh menunggu sampai krisis ini menjadi ledakan sosial total. Politik bukan hanya soal mengelola kekuasaan, tapi soal menjawab keresahan rakyat sebelum keresahan itu menjelma menjadi tragedi," tegas Fakhrizal.
Saatnya Membuktikan Keberpihakan
RUU Perampasan Aset bukanlah solusi instan untuk semua persoalan. Namun, di tengah eskalasi protes yang kian meluas, rancangan ini menjadi langkah paling rasional dan progresif yang bisa segera dijalankan.
"Rakyat sudah terlalu lama menunggu, dan korban sudah terlalu banyak berjatuhan. Sejarah akan mencatat: apakah para elite politik memilih menjadi bagian dari solusi, atau justru menjadi saksi bisu dari hancurnya kepercayaan publik?," katanya.
Respons DPR
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Sturman Panjaitan, memastikan pihaknya akan memaksimalkan pembahasan RUU Perampasan Aset untuk menjawab aspirasi masyarakat yang mendesak percepatan pengesahan.
Menurutnya, pembahasan RUU tersebut sudah mulai digelar sejak Senin (1/9) dan kini masih berada dalam tahap penyusunan.
"Kami bekerja semaksimal mungkin. Bahkan kemarin kita kan juga bahas. Hari Senin kemarin kita masuk juga," kata Sturman dikutip dari Antara.
Ia menegaskan Baleg DPR RI akan memperluas partisipasi publik dalam pembahasan agar RUU tidak jauh dari pemahaman masyarakat. "Karena masyarakat selalu diminta pendapatnya, diminta keinginannya apa. Kemudian kita jawab pertanyaannya," ujarnya.
Namun, Sturman menekankan bahwa penyusunan RUU harus dilakukan secara hati-hati karena terkait urusan pidana. Rancangan ini tidak boleh tumpang tindih dengan aturan pidana lain.
"Undang-undang itu harus searah, sejalan. Supaya tidak berlawanan. Makanya kita harus perlu hati-hati," katanya.
Tindak lanjut RUU Perampasan Aset kini berada di titik krusial. Desakan rakyat, korban yang berjatuhan, dan krisis kepercayaan terhadap negara menjadi alarm keras yang tak bisa diabaikan.
Pilihan kini ada di tangan DPR dan pemerintah: menunda dengan risiko eskalasi krisis, atau segera bertindak demi mengembalikan kepercayaan rakyat. (rpi)
Load more