Amnesti, Hak Presiden yang Sarat Makna Keadilan dan Rekonsiliasi
- ANTARA
Jakarta, tvOnenews.com — Amnesti kembali menjadi sorotan publik setelah Presiden Prabowo Subianto resmi memberikan pengampunan kepada sejumlah narapidana, termasuk tokoh politik dan aktivis yang sebelumnya menuai kontroversi.
Salah satu nama yang paling mencuri perhatian adalah Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI Perjuangan, yang tersangkut kasus korupsi, serta Yulian “Ongen” Paonganan dalam perkara UU ITE. Keputusan ini menegaskan bahwa amnesti bukan sekadar tindakan administratif, tetapi juga instrumen politik dan hukum yang strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Secara konstitusional, amnesti adalah hak prerogatif Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945. Namun, pemberian amnesti tetap membutuhkan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Berbeda dengan grasi yang bersifat individual dan terkait pengampunan hukuman, amnesti bersifat kolektif dan biasanya diberikan dalam konteks politik tertentu, seperti rekonsiliasi nasional atau penegasan arah baru pemerintahan.
Pemberian amnesti kerap menjadi perdebatan publik. Di satu sisi, tindakan ini bisa dilihat sebagai bentuk kemanusiaan dan penyelesaian konflik masa lalu; di sisi lain, amnesti bisa menuai kritik jika dinilai melemahkan supremasi hukum.
Oleh karena itu, transparansi, urgensi, dan dasar pertimbangan yang kuat menjadi kunci agar keputusan Presiden dapat diterima publik secara adil.
Dalam sejarahnya, Indonesia telah beberapa kali menggunakan amnesti sebagai solusi atas persoalan-persoalan yang tidak hanya bersifat hukum, tetapi juga politik dan sosial. Salah satu contohnya adalah amnesti bagi tahanan politik di era reformasi.
Kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, amnesti kembali menjadi alat untuk menata ulang relasi negara dengan warganya yang pernah bersinggungan dengan hukum, sekaligus menandai arah rekonsiliasi baru di era pasca Jokowi.
Gelombang amnesti yang diumumkan pada 1 Agustus 2025 menyasar 1.178 narapidana yang memenuhi syarat, berdasarkan pernyataan resmi Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas.
Dari jumlah itu, dua nama paling mencuat adalah Hasto Kristiyanto dan Yulian “Ongen” Paonganan. Langkah ini menandai babak baru dalam kebijakan pemulihan politik dan sosial di Indonesia.
Yulian Paonganan atau Ongen, yang pernah divonis atas pelanggaran UU ITE pada 2015, menyampaikan rasa terima kasih mendalam kepada Presiden Prabowo.
Load more