Untuk Perlindungan Anak dan Kelompok Rentan, Konten Platform Digital Perlu Diregulasi
- IST
Jakarta, tvOnenews.com - Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan topik “Regulasi Platform Digital: Objek, Materi, dan Penempatan dalam Undang-Undang”. FGD ini digelar di Jakarta, Rabu (16/7). Forum ini menyoroti kesenjangan regulasi antara media konvensional dan platform digital yang semakin mendesak untuk diatasi.
Ketua Umum ATVSI, Imam Sudjarwo, menilai bahwa Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 tidak lagi relevan dengan perkembangan teknologi dan lanskap media saat ini. Ia juga mengingatkan bahwa ketimpangan regulasi telah berdampak nyata pada industri penyiaran, termasuk maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penurunan daya saing lembaga penyiaran nasional.
“UU Penyiaran ini sudah berusia 23 tahun dan belum pernah direvisi. Sementara ekosistem media telah berubah drastis, terutama dengan masifnya penetrasi platform digital. Kita perlu regulasi yang menjawab realitas baru ini,” kata Imam.
Dalam FGD yang di moderatori oleh Sekretaris Jenderal ATVSI Gilang Iskandar, para narasumber mengklasifikasikan platform digital ke dalam dua kategori utama: broadcasting-like seperti YouTube Live, TikTok Live, Vidio, dan Netflix; serta non-broadcasting-like seperti WhatsApp, e-commerce, dan layanan berbasis AI seperti ChatGPT. Kedua kelompok tersebut dinilai membutuhkan pendekatan regulasi yang berbeda, mulai dari hard regulation hingga self-regulation.
Dosen Universitas Multimedia Nusantara, Dr. Ignatius Haryanto, menekankan pentingnya menjaga prinsip tanggung jawab sosial dalam ekosistem media digital. “Media harus tetap memberi manfaat bagi publik. Adaptasi terhadap teknologi penting, tapi harus tetap ada kepastian hukum dan proporsionalitas regulasi,” ujarnya.
Ia juga menyoroti perlunya pendekatan lintas-kerangka hukum, bukan hanya dari UU Penyiaran, melainkan juga memperhatikan praktik internasional seperti Online Streaming Act di Kanada dan News Media Bargaining Code di Australia.
Sementara itu, akademisi Universitas Indonesia, Whisnu Triwibowo, Ph.D., menyoroti dominasi platform digital global dalam menguasai distribusi konten, data pengguna, dan pendapatan iklan.
“Google, Meta, dan TikTok kini menjadi gerbang utama informasi. Kita butuh regulasi yang adil, termasuk transparansi algoritma, perlindungan data pribadi, serta pengawasan terhadap praktik monopoli digital,” kata Whisnu.
Whisnu mengusulkan pembentukan otoritas pengatur digital yang independen serta kerangka hukum baru yang mendukung hak pengguna dan keberlanjutan media lokal.
Sementara narasumber dari Universitas Al Azhar Indonesia, Dr. Irwa Rochimah Zarkasi menyoroti perbedaan mendasar antara penyiaran terestrial dan penyiaran berbasis internet. “Di platform digital, audiens bersifat aktif dan konten bersifat personal. Regulasi tidak bisa lagi memakai logika frekuensi publik semata,” ujarnya.
Irwa menyarankan model tata kelola berbasis co-regulation dan self regulation. Co-regulation melibatkan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat sipil.
Sementara itu, pandangan dari sisi industri disampaikan oleh Harsiwi Achmad, Direktur SCM, yang menegaskan perlunya standar etik untuk seluruh media, termasuk platform digital. “Semua media wajib menjaga tanggung jawab moral, etika, dan hukum. Konten berbahaya seperti kekerasan, pornografi, hoaks, atau ujaran kebencian tidak boleh dilegalkan hanya karena algoritma,” tegasnya.
Dalam diskusi turut dibahas tiga opsi penempatan regulasi: pertama, melalui revisi UU Penyiaran; kedua, penguatan UU ITE dan regulasi turunannya; dan ketiga, pembentukan undang-undang baru seperti UU Konvergensi Media atau UU Layanan Media Digital.
Diskusi berlangsung hybrid dengan peserta secara online dan offline, dengan peserta dosen, mahasiswa, organisasi penyiaran, organisasi profesi, praktisi/analis penyiaran, masyarakat, lembaga pemerintah dan regulator penyiaran.
Diskusi berlangsung produktif dengan masukan, tanggapan atau pertanyaan dari peserta offline maupun online. Dari peserta offline ada dari Ketua Umum AVISI, Ketua Umum PRSSNI, Pengurus ATSDI, Rektor IMDE, Dosen Paska Sarjana UNTAR, Praktisi dan Analis Penyiaran Patrick Kwatno. Sedangkan yang dari online ada Komisioner KPID Aceh, Ketua KPID Jabar, dan dari BRIN. FGD berlangsung sekitar empat jam.
Dalam FGD ini, narasumber dan peserta sampai pada pemahaman perlunya perlindungan masyarakat dari konten yang merugikan. Di satu pihak bisnis media multiplatform tidak salah untuk tumbuh dan berkembang, namun pada saat yang sama masyarakat tidak boleh dirugikan. Karenanya regulasi konten dan pengawasan penegakan regulasinya harus ada. Jadi dari berbagai aspek platform digital, aspek konten ini yang perlu disegerakan dibuat aturannya. Tinggal lagi perlu dikaji dimana regulasi itu akan ditempatkan. (ebs)
Load more