Psikolog Forensik Lontarkan Kritikan Pedas ke Pemerintah soal Kekerasan Seksual
- tim tvOne
Jakarta, tvOnenews.com - Psikolog forensik, Reza Indragiri lontarkan kritikan pedas terhadap pemerintah soal kekerasan seksual. Bahkan, Reza Indragiri menyoroti ketimpangan penegakan hukum dalam kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Ia menyebut negara justru terkesan memberi ruang bagi pelaku, alih-alih fokus pada pemulihan korban.
Pernyataan itu disampaikan Reza dalam diskusi publik bertema "Hukum di Indonesia: Menyembuhkan atau Menyiksa Korban Kekerasan Seksual?" yang digelar di Perpustakaan Nasional RI, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (11/7/2025).
Dalam hal ini, ia menilai Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) masih menyimpan celah keberpihakan terhadap pelaku.
"Undang-Undang TPKS memberi pelayanan terhadap pelaku. Kalau ditanya ke saya, anti-klimaks pidana seksual itu di mana? Jawaban saya, di seberang sana, perpustakaan, Monas, Istana, itu dia," beber Reza menyinggung simbol negara.
Bahkan ia mengulas kembali kasus kekerasan seksual yang sempat menghebohkan publik pada tahun 2018. Kala itu, beberapa guru asing diduga melakukan kekerasan seksual terhadap siswa di sebuah sekolah internasional di Jakarta.
Menariknya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kala itu menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak merupakan extraordinary crime atau kejahatan luar biasa.
Namun tak lama berselang atau setahun berikutnya, negara memberikan grasi kepada para pelaku yang telah dipidana.
"Jadi, Presiden Jokowi yang mengatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa."
"Coba bayangkan, dia katakan kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa. Tapi selama beberapa bulan kemudian, dia memberikan grasi kepada para pelaku kejahatan luar biasa itu," bebernya.
Menurut ia juga, keputusan tersebut menjadi sinyal inkonsistensi negara dalam menangani kejahatan seksual terhadap anak. Ia menyebut langkah tersebut sebagai bentuk anti-klimaks dan kemunduran serius dalam komitmen perlindungan korban.
"Anti-klimaks atau penolakan terbesar, langkah mundur tajam, berbelok itu, justru jangan-jangan datang dari negara sendiri. Dalam hal ini siapa, entah itu penegak hukumnya, atau dari pemimpin nasionalnya," pungkasnya. (aag)
Load more