Komisi VIII DPR Bahas Revisi UU Haji Pekan Depan, Soroti Masalah Kuota
- Antara
Jakarta, tvOnenews.com - Anggota Komisi VIII DPR RI, Hidayat Nur Wahid, menyebut DPR akan mulai membahas revisi Undang-Undang Haji pada pekan depan.
“Revisi itu akan dibahas pada masa sidang mulai minggu depan. Insya Allah akan dibahas,” kata Hidayat di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Jumat (20/6/2025).
Dia menjelaskan UU Haji perlu direvisi untuk menyesuaikan penyelenggaraan haji yang mulai tahun 2026 akan dikelola oleh Badan Penyelenggara Haji (BPH).
“Tanpa undang-undang itu, badan ini tidak bisa bekerja, karenanya ini harus segera disiapkan,” tutur politisi PKS ini.
Hidayat mengatakan Fraksi PKS akan mengusulkan agar dalam revisi undang-undang tersebut, BPH diubah menjadi Kementerian Haji dan Umroh.
“Karena melihat pada kewenangan daripada badan, itu dia tidak mempunyai kaki, tidak mempunyai lembaga di tingkat provinsi, kabupaten, kota yang merupakan turunan daripada badan. Beda dengan kementerian,” jelasnya.
Tak hanya itu, pihaknya juga menyoroti permasalahan kuota haji. Hidayat mengatakan pihaknya akan mengusulkan agar kuota haji tidak lagi 1:1.000 (satu banding seribu) seperti tahun 2025.
“Tapi 2:1.000. Mengapa 2:1.000? Karena faktanya adalah 1:1000 itu sudah keputusan yang sangat lama, sudah tahun 80-an yang lalu. Pada zaman itu mungkin jumlah umat Islam belum sebanyak sekarang. Daftar tunggu belum sebanyak sekarang,” jelasnya.
Sementara, jumlah umat Islam di Indonesia yang ingin pergi haji semakin bertambah sehingga menyebabkan daftar tunggu semakin lama.
Atas hal itu, Hidayat mengusulkan agar pemerintah Indonesia melalui Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengubah kuota haji menjadi 2:1000.
Selain itu, dia juga mengusulkan agar Indonesia bekerja sama dengan negara-negara anggota OKI yang kuota hajinya berlebih atau tidak terpakai. Kemudian, kuota itu dapat digunakan oleh Indonesia.
“Jadi agar Indonesia mengusulkan kepada OKI untuk memulihkan kerja sama semacam ini,” ungkapnya.
Kemudian, Hidayat juga usul agar kuota haji khusus atau non reguler ditetapkan maksimal 8 persen.
“Sebab daftar tunggu bagi yang reguler ini sudah luar biasa panjang, tentu keadilannya adalah untuk mereka juga,” tandasnya. (saa/raa)
Load more