Agket, katanya, adalah operasi sesar yang tidak dikenal dalam sistem penyelesaian sengketa Pemilu di republik ini, tidak ada dalam kerangka hukum Pemilu Idonesia.
Sambung Fahri Bachmid menjelaskan, bahwa Hak Angket adalah suatu instrumen yang diberikan kepada DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang atau kebijakan Pemerintah yang dianggap memiliki dampak penting, strategis, dan luas pada kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara serta diduga melanggar peraturan perundang-undangan.
"Landasan konstitusional pengunaan Hak Angket didasarkan pada UUD 1945, khususnya ketentuan Pasal 20A ayat (2), dan secara derivatif, pranata hak angket DPR mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD beserta Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014," ujarnya.
Fahri Bachmid menguraikan bahwa dalam kerangka hukum tata negara, Hak Angket, bersama dengan Hak Menyatakan Pendapat dan Hak Interpelasi, merupakan instrumen pengawasan legislatif terhadap berbagai kebijakan yang diambil oleh eksekutif atau pemerintah.
Namun, dalam konteks permasalahan Pemilu, Fahri Bachmid berpendapat bahwa penggunaan Hak Angket tersebut adalah absurd serta tentunya inkonstitusional.
"Tidak dikenal dalam bangunan hukum Pemilu kita, Penjelasan dalam Pasal 79 ayat (3) UU RI No. 17/2014 tentang MD3 dengan jelas menyatakan bahwa Hak Angket dimaksudkan untuk mengawasi lembaga eksekutif, yang mencakup Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, dan pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian," jelasnya.
Dengan demikian, ia katakan, jika Hak Angket digunakan sebagai alat untuk mengurai permasalahan Pemilu, maka pada hakikatnya itu telah masuk pada ranah sengketa Pemilu, yang tentunya merupakan yurisdiksi pengadilan, yang mana penyelesaiannya merupakan kompetensi absolut MK, bukan DPR.
Load more