Jakarta, tvOnenews.com - Partai Garuda menyatakan tidak menjadikan generasi muda sebagai objek untuk mendulang suara, tapi berjuang untuk menjadikan generasi muda sebagai pemimpin bangsa ini. Sebelumnya, Partai Garuda gugat batas minimum umur Capres Cawapres. Partai Garuda juga mendaftarkan 90 persen Generasi muda untuk menjadi anggota DPR RI.
"Partai Garuda berjuang agar generasi muda bisa menjadi Presiden atau Wakil Presiden Republik Indonesia. Begitupun di Senayan, Partai Garuda berjuang agar kursi DPR RI diisi oleh para generasi muda. Jadi Partai Garuda tidak mau mengakali generasi muda demi suara, tapi ingin jadikan mereka pelaku di negeri ini," kata Wakil Ketua Umum dan Juru Bicara Partai Garuda, Teddy Gusnaidi, Rabu (18/10/2023).
Ketika putusan MK telah memberikan ruang bagi Generasi muda untuk ikut memimpin Negara ini, muncul berbagai kelompok yang tidak setuju, mereka menyerang MK untuk membatasi Generasi muda memimpin.
"Mereka merasa terancam dengan kehadiran generasi muda, mereka menganggap generasi muda adalah generasi yang bodoh, mereka hanya ingin mendapatkan suara generasi muda, mereka merasa besar kepala, merasa yang paling hebat, sehingga negara ini hanya boleh diatur oleh mereka, tidak mau memberikan kesempatan kepada para generasi muda," ucap teddy.
Partai Garuda akan ada di garda terdepan untuk melawan kelompok-kelompok yang ingin mengebiri jalan generasi muda. Kelompok yang hanya menjadikan Generasi Muda sebagai sapi perah, hanya ingin suara generasi muda, tapi membantai jalan generasi muda untuk menjadi pemimpin.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa putusan mahkamah terkait uji materi Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berlaku mulai Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024.
“Ketentuan Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya,” kata Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam Sidang Pengucapan Putusan/Ketetapan di Gedung MK RI, Jakarta, Senin.
Guntur mengatakan bahwa hal tersebut penting untuk ditegaskan agar tidak menimbulkan keraguan mengenai penerapan pasal dalam menentukan syarat batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
“Hal ini penting ditegaskan mahkamah agar tidak timbul keraguan mengenai penerapan pasal a quo dalam menentukan syarat keterpenuhan usia minimal calon presiden dan wakil presiden sebagaimana rumusan dalam amar putusan a quo,” ucapnya.
MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengenai batas usia capres dan cawapres diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.
Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.
Mahkamah berkesimpulan bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, MK menyatakan Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945.
"Sehingga Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’," ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan.
Di sisi lain, MK menolak gugatan uji materi yang dilayangkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang memohon batas usia capres dan cawapres menjadi 35 tahun.
Kemudian, MK juga menolak gugatan uji materi Partai Garuda dan sejumlah kepala daerah yang memohon batas usia capres-cawapres diubah menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.
Terkait hal itu, Guntur menegaskan bahwa putusan yang berlaku adalah putusan yang terbaru, yakni putusan yang mengabulkan batas usia capres-cawapres menjadi 40 tahun atau pernah menjadi kepala daerah.
“Terhadap pemaknaan norma Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017, penting bagi mahkamah untuk menegaskan bahwa dalam hal terdapat dua putusan yang menyangkut isu konstitusionalitas yang sama, namun karena petitum yang tidak sama dalam beberapa putusan sebelumnya dengan perkara a quo sehingga berdampak pada amar putusan yang tidak sama, maka yang berlaku adalah putusan yang terbaru,” kata Guntur.(ebs)
Load more