Histeria
- tim tvonenews.com
Awalnya dari sebuah pengakuan di akun medsos, seorang korban mengeluhkan tertipu oleh seseorang yang mengaku bisa mengusahakan tiket konser Coldplay. Setelah didalami ternyata korban-korban serupa cukup banyak.
Yang bukan pesohor juga bisa ikut serta dengan keriaan ini. Mereka cukup gembira membagikan tiket bertajuk Coldplay yang sebenarnya tiket bus. Atau tiket Coldplay yang pada kertasnya tertulis akan digelar di lapangan kecamatan terdekat.
Saya cukup terhibur ketika gurauan gurauan kreatif semacam ini berseliweran di group group percakapan yang saya ikuti.
Musik pop adalah anak kandung kebudayaan massa.
Semua kalangan merasa tumbuh dengan pengalaman yang sama, sehingga merasa wajib cawe cawe. Kelompok konservatif, diwakili Persaudaraan Alumni 212 bahkan mengancam akan mengepung bandara jika band asal Inggris ini benar benar datang ke Indonesia.
Anwar Abbas, Wakil Ketua MUI pun menyatakan ketidaksetujuannya pada rencana konser Coldplay. Alasannya, band yang dibentuk di London pada 1997 ini dianggap mendukung lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Secara diametral, sikap ini disambut kelompok liberal di masyarakat.
Guntur Romli menyebut kelompok yang menolak kedatangan Coldplay sebagai munafik--sambil menuduh kelompok lain itu sebagai, belum mendapatkan “uang diam”. Pemerintah, melalui Menko Polhukam Mahfud MD dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengaku siap menurunkan pengamanan menjaga konser Coldplay.
Tiba tiba saja sebuah konser musik yang baru akan digelar di akhir tahun memancing perdebatan sejak enam bulan sebelumnya. Bagi saya ini mengingatkan pada polemik yang pernah terjadi sebelumnya, tapi saat itu dipicu oleh karya anak bangsa.
Presiden pertama Soekarno pernah melarang group musik pop Koes Plus karena ekspresi musiknya dianggap Barat dan dekaden. Musik Koes Plus distigma dengan musik "ngak ngik ngok" dan bertentangan dengan keinginan bangsa yang tengah menuntaskan revolusinya, termasuk pada bidang kebudayaan.
Zaman berganti, selera musik pun berbeda.
Saat Orde Baru, Menteri Penerangan Harmoko menyebut penyanyi pop semacam Betharia Sonata sebagai “cengeng” dan “bobrok”. Genre musik ini pun dilarang tampil di stasiun televisi satu satunya saat itu: TVRI.
Load more