Jakarta, tvOnenews.com - Di acara talk show Catatan Demokrasi, pada Selasa (28/2/2023) malam, Analis Kebijakan Publik, M Said Didu saat ditanya pebawa acara Andromeda Mercury tentang fenomena flexing di Indonesia.
Di mana fenomena ini, bukan menyangkut anak pejabat saja, tetapi tentang harta kekayaan dari orang tua Mario Dandy Satriyo, Rafael Alun Trisambodo hingga saat ini masih dicari tahu, dan saat ini tercatat harta kekayaannya senilai 5,61 miliar.
Menyikapi fenomena kasus tersebut yang terungkap di media massa hingga media sosial. M Said Didu mengaku antara gembira dan sedih.
"Gembiranya karena, ternyata publik masih ada sensitivitas yang tidak menyukai gaya hedonis. Sedihnya ada anak muda (Mario Dandy) yang salah didik dari orang tuanya sehingga menjadi rusak seperti itu," kata M Said Didu secara blak-blakan di acara talk show Catatan Demokrasi, tvOne, Selasa (28/2/2023) malam.
Namun sebelumnya, ia katakan, bahwa gaya hidup hedonis ini seperti apa? dan bagaiamana cara menghindari ke depannya?
"Saya ini pejabat, hampir pejabat tertinggi di birokrasi dan saya paham betul apa penyebab gaya hidup hedonis itu," ujarnya.
Sambungnya menjelaskan, bahwa penyebab gaya hidup hedonis ini adalah protokol dan penikmat gaya hidup hedonis itu adalah penikmat hidup yang berlindung dari aturan protokol.
"Padahal protokol itu adalah itu pejabat sendiri yang mengaturnya. Nanti dia yang minta begini, aku berpura-pura begini (dalam protokol)," jelasnya.
"Anda bisa bayangkan saya sekertaris kementerian BUMN dan saya membawahi Dirut BUMN sebelumnya. Saat itu saya mau terbang ke Palembang dan nomer kursi saya nomer satu dan tau-tau ada dirut naik, dan itu bisa digeser protokol saya menjadi nomer enam. Ciba bayangkan sangkin berkuasanya Dirut BUMN karena protokol," sambungnya menjelaskan.
Rafael Alun Trisambodo
Kemudian, ia akui dirinya duduk diam saja lalu memperhatikan dirut tersebut. Padalah, ia akui, dirinya mau ke dirut BUMN tersebut. Sampai-sampai, ia katakan, dirinya memberikan sambutan isinya tentan bahwa kursinya sudah digeser oleh Dirut BUMN.
"Itu betapa kuasanya protokol," jelasnya.
Lanjutnya mengatakan, jika seorang pejabat suka dilayani satu, naka istrinya minta dilayani tiga, itu bobotnya.
"Anaknya minta dilayani dua, jadi penyebab gaya hedonis adalah bapaknya sebenarnya," ujarnya.
Di samping itu, ia sebutkan, bila pejabat sudah menikmati jabatan, maka dia sudah membuka pintu jalan sesat.
"Itu prinsip bagi seorang pejabat. Nah, bagi saya seorang pejabat sudah memakai ngiung-ngiung (sirene), bagi saya nilainya nol," kataya.
Sementara, ia sebutkan, di orde Pak Suharto, pejabat yang diperbolehkan saat melintas jalan raya memakai sirene atau patwal adalah pejabat tertinggi di kota itu dan ambulance.
"Nah, di Jakarta itu hanya Pak Harto dan wakil presiden. Sekarang hampir semua bupati dari daerah datang pun pakai ngiung-ngiung, sehingga kita hidup paling tersiksa itu di Jakarta, ngiung-ngiung itu banyak kali," tegasnya. (aag)
Load more