Kisah Petani Garam Tradisional di Aceh Besar Mengupayakan Kemandirian Pangan
- ANTARA
Banda Aceh, tvOnenews.com- Azhar Idris memasukkan kayu bakar satu persatu ke dalam tungku yang terbuat dari semen. Di atasnya terdapat dua kuali besar berisi air yang sebelumnya ditampung dalam bedeng sebagai bahan baku utama pembuatan garam. Hawa panas membakar kulit,
Lelaki berusia 60 tahun asal Gampong Lam Ujong, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar itu, dengan telaten memisahkan busa yang muncul di atas air mendidih. Pemisahan tersebut untuk memastikan garam yang diproduksi putih bersih.
Panasnya api dari tungku dan uap panas air garam, telah menjadi teman sejati bagi lelaki yang telah melakoni usaha garam sejak berumur 30 tahun itu.
Bagi ayah tiga orang anak itu, butiran kristal putih garam menjadi penyambung hidup keluarganya. Lewat garam ia juga bisa memberikan pendidikan untuk si buah hatinya hingga universitas.
"Usaha pembuatan garam ini sebenarnya sudah turun temurun. Orang tua saya petani garam juga, cuma beda cara produksi. Dulu orang tua saya mengeruk tanah dan sekarang metode yang saya terapkan lebih moderen dan mudah," katanya.
Ayah dari Zulkiram itu memiliki tempat usaha memasak garam atau dalam bahasa Aceh "jamboe sira" berukuran 6x8 meter. Di sana terdapat dua kuali besar persegi dengan kapasitas sekali masak mampu menghasilkan 30 kilogram garam curah per kuali.
Ia mengaku sehari rata-rata mampu memproduksi 100 kilogram garam curah. Adapun waktu yang dibutuhkan untuk merebus air menjadi garam selama empat jam.
Garam rebus adalah garam yang dihasilkan dengan metode merebus air laut atau larutan garam sekitar empat jam hingga menguap dan menghasilkan kristal garam. Metode yang diterapkan tersebut berbeda dengan garam tradisional yang dijemur di bawah sinar matahari.
"Masyarakat lebih suka garam yang diproduksi secara direbus. Garam yang direbus enak dan menghasilkan garam yang teksturnya lebih halus dan rasanya lebih kuat," kata Azhar yang menyebut pemasaran garamnya tidak hanya di Aceh Besar, tapi juga ke kabupaten/kota lainnya termasuk hingga ke Aceh Singkil.
Untuk mendukung produksi garam rebus di sentra produksi di Gampong Lam Ujong. Azhar memiliki 12 bedeng tempat jemur air yang terbuat dari terpal hitam dan didukung bedeng penampungan seluas 20x4 meter.
Air dalam bedeng jemur tersebut bersumber dari air sumur bor yang menjadi bahan dasar garam dengan kadar keasinan 2 sampai 3 persen. Air tersebut dijemur selama seminggu hingga kadar berada pada angka 9 sampai 10 persen dan selanjutnya dimasukkan ke dalam bedeng penampungan.
Ia menuturkan untuk mengukur kadar garam tersebut dilakukan dengan menggunakan alat hidrometer. Alat tersebut tentu sangat membantu kapan bahan baku itu siap dipakai untuk memproduksi garam.
Suami dari Nurbayani mengaku sumur bor yang digali khusus untuk pembuatan garam merupakan bagian dari upaya menjaga kualitas dan kebersihan produk yang dihasilkan.
Ia juga menyiapkan bedeng penampungan terbuat dari terpal hitam beratap agar air yang telah memiliki kadar 9 sampai 10 tidak terkena air hujan.
Azhar yang menjadi Ketua Kelompok Sira Lamnga tidak sendiri dalam memenuhi kebutuhan garam di Aceh Besar khususnya.
Ada sekitar 30 bangunan "Jambo Sira" yang berada di area tempat Azhar mengais rupiah. Kepulan asap dan bedeng-bedeng jemur air garam terhampar di kawasan Gampong Lam Ujong.
Usaha garam yang ia lakoni bersama rekan-rekannya pernah mendapat dukungan dari pemerintah kabupaten dan juga pemerintah Provinsi Aceh melalui instansi terkait.
Mereka saat ini sangat berharap adanya "bapak angkat" yang bisa memperbaharui atau meningkatkan sarana pendukung produksi. Terutama saat musim penghujan tiba. Di mana mereka terpaksa menambah biaya produksi karena harus membeli bibit garam.
Para petani garam yang berjarak sekitar 10 KM dari Banda Aceh itu, berkeinginan memiliki bedeng penampungan representatif dan juga "rumah kaca" tempat penampungan terakhir air sebelum direbus.
Petani garam di Aceh Besar itu berkeyakinan, jika sarana yang ada ada diperbaharui akan mampu meningkatkan produksi dan memenuhi permintaan garam di seluruh Aceh.
Azhar dan petani garam yang ada di Lam Ujong khususnya dan di sentra garam umumnya berkomitmen mendukung program pemerintah swasembada garam. Komitmen itu diperkuat lewat regulasi Perpres 126/2022 tentang Percepatan Pembangunan Industri Garam Nasional guna menghentikan impor garam pada 2027.
Target tersebut bukan sekadar angka, tetapi simbol kemandirian bangsa maritim.(ant)
Load more