Polemik Gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto, Cenares: Boleh Kritis Tapi Tak Kehilangan Rasa Hormat
- Wikipedia
Jakarta, tvOnenews.com - Rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional terhadap Presiden RI ke-2, Soeharto menuai polemik diberbagai kalangan.
Direktur Eksekutif Center for Strategic Studies on National Resilience (Cenares) Indonesia, Raden Umar mengimbau para elit politik untuk menanggapi polemik seputar pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dengan cara yang lebih dewasa dan konstruktif.
Umar mengatakan bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu memberi penghormatan kepada tokoh-tokoh masa lalunya tanpa harus menafikan luka sejarah.
“Penghormatan kepada pemimpin masa lalu adalah cermin kebesaran bangsa. Kita bisa tetap kritis terhadap sejarah, tetapi tidak boleh kehilangan rasa hormat kepada mereka yang pernah berbuat untuk negeri ini,” ujar Umar kepada awak media, Jakarta, Sabtu (8/11/2025).
Umar menilai pernyataan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri yang menolak pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dengan alasan luka sejarah menunjukkan bahwa sebagian elit bangsa masih belum sepenuhnya berdamai dengan masa lalunya.
“Kalau bangsa ini terus melihat masa lalu dengan kacamata dendam, maka yang muncul bukan pembelajaran sejarah, melainkan luka yang terus diwariskan,” katanya.
Menurut Umar sikap seorang pemimpin seharusnya mencerminkan kemampuan untuk memutus rantai dendam sejarah, bukan memperpanjangnya.
Ia mengingatkan bahwa pengakuan terhadap jasa seorang tokoh tidak berarti menghapus kritik terhadap kebijakannya.
“Pemimpin sejati mampu memisahkan antara objektivitas sejarah dan subjektivitas politik. Mengakui jasa Soeharto dalam pembangunan, ketahanan pangan, dan stabilitas nasional tidak berarti menutup mata terhadap sisi gelap masa pemerintahannya,” katanya.
Ia menambahkan pengakuan terhadap jasa tokoh-tokoh nasional termasuk Soeharto justru dapat menjadi simbol rekonsiliasi dan kebesaran bangsa Indonesia.
“Memberi penghargaan kepada mereka yang pernah berjasa, meski pernah berseberangan pandangan, adalah bukti bahwa kita sudah dewasa dalam bernegara. Hanya bangsa yang berdamai dengan sejarahnya yang mampu melangkah maju,” tegasnya.
Umar menyerukan agar semua pihak melihat momentum ini bukan sebagai perdebatan politik, tetapi sebagai refleksi moral dan kebangsaan.
“Kita tak sedang membicarakan masa lalu semata, melainkan masa depan yang ingin kita bangun di atas fondasi rekonsiliasi dan penghargaan terhadap sejarah,” pungkasnya. (raa)
Load more