Seabad Perjalanan Berlage di Nusantara, dari Modernisme hingga Lubang Gelap Sejarah Arsitektur Hindia Belanda
- Bajo Winarno
Jakarta, tvOnenews.com-Rumah rumah beratap sirap itu nampak meriah, penuh warna. Selain warna warna tarakota, seperti merah dan coklat, sebuah rumah bahkan dilabur warna biru.
Pepohonan yang jadi latar belakang jajaran rumah penduduk itu juga semarak oleh warna. Ada pohon kelapa yang dipulas warna coklat, sementara pepohonan lainnya bervariasi dari warna hijau muda hingga coklat. Sketsa ini bertajuk Kota Gede, sebuah Tarik Nampak tertera 1923. Kini rumah rumah cantik bergaya perpaduan Indonesia-Eropa masih banyak yang terawat apik di kampung tua di Yogyakarta yang kini jadi sentra kerajinan perak.
Saat membuat sketsa dari crayon itu Hendrik Petrus Berlage (1856 - 1934) agaknya tengah mabuk dengan cahaya tropis di Nusantara. Seperti banyak pengelana dari Eropa, situasi alam di Nusantara yang hangat oleh matahari membuat karya-karya sketsa Berlage tampak lebih hidup, kaya warna, tidak monokromatik seperti biasanya. Saat itu, Berlage tiba di Batavia setelah menumpang kapal SS Grotius selama dua minggu dari Genoa, Italia.
"Sulit dibayangkan bahwa akhirnya saya sungguh dalam perjalanan ke Timur, memenuhi suatu keinginan yang sudah selalu didambakan, tetapi dianggap tak terjangkau...”, demikian Berlage menulis kesannya Ketika tiba di Nusantara.
Karya karya sketsa Berlage saat melakukan perjalanan ke Nusantara pada 1923 (Sumber Foto: web Berlage di Nusantara)
Kedatangan Berlage memang berbarengan dengan zaman baru yang terbit di Hindia Belanda. Modernisme di segala bidang tumbuh. Kesadaran politik mulai bangkit bersamaan dengan kebijakan politik etis. Organisasi sosial politik tumbuh seperti jamur di musim hujan, rapat rapat akbar hingga pertemuan pertemuan warga kota banyak digelar, terbitan dan media cetak tumbuh subur. Gelombang pasang modernisme di tanah jajahan membangkitkan gairah Berlage untuk berkarya dan mengelegakan intelektualisme.
Berlage sangat menikmati perjumpaannya dengan "Timur" yang kerap ia pahami secara stereotip. Ia mengunjungi banyak daerah di Jawa, Bali dan Sumatera--termasuk ke kawasan Kota Gede di Yogyakarta--untuk membuat sketsa. Tak hanya sketsa ia mencatat apapun yang dihadapinya, termasuk dengan renungan renungan puitik.
Load more