M. Ali Affandi La Nyalla Mahmud Mattalitti.
Sumber :
  • syamsul huda

Memberatkan, Kadin Surabaya Minta Kebijakan Pemotongan Gaji Untuk Tapera Dikaji Ulang

Jumat, 31 Mei 2024 - 10:33 WIB

Surabaya, tvOnenews.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan PP Nomor 25 Tahun 2020 mengenai Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Peraturan baru ini menetapkan besaran simpanan dana Tapera ditarik tiap bulan sebesar tiga persen dari gaji atau upah peserta pekerja. Pemotongan tiga persen untuk tabungan Tapera ini dibagi menjadi dua pihak: pemberi kerja menanggung 0,5 persen dan pekerja 2,5 persen. Sementara, pekerja mandiri menanggung seluruh biaya simpanan sendiri. 

Atas kebijakan tersebut, Kadin Surabaya menilai sangat memberatkan masyarakat, dan rentan terjadinya penyelewengan. Untuk itu, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Surabaya H. M. Ali Affandi La Nyalla Mahmud Mattalitti meminta pemerintah untuk melakukan uji ulang aturan tersebut. 

Menurutnya, pemotongan gaji karyawan swasta dan mandiri sebesar tiga persen untuk Tapera dikhawatirkan justru akan membuat masyarakat kelas bawah semakin terhimpit. Apalagi kondisi keuangan tiap pekerja tidak sama, banyak juga yang sudah miliki tanggungan kredit yang harus dibayar setiap bulannya.

“Perlu dikaji ulang, kalau misalnya ada potongan wajib bagi peserta Tapera, itu khawatirnya memberatkan masing-masing, apalagi berpenghasilan rendah, juga kita belum tahu mekanismenya nanti seperti apa,” kata H.M. Ali Affandi M. Mattalitti di Surabaya, Jumat (31/5/2024).

Sebenarnya, lanjut Andi, kebijakan tersebut juga memiliki dampak positif bagi pekerja yang ingin memiliki rumah, karena mereka akan terbantu namun kembali lagi, semua harus dikaji ulang. Ditimbang dampak positif dan negatifnya. 

Apalagi jika pengimplementasiannya tidak sesuai dan jaminan keamanan dana tidak diawasi oleh lembaga keuangan. Dan juga, tidak semua pekerja membutuhkan, ada banyak pekerja yang sudah memiliki rumah dan sudah tidak membutuhkan untuk membelinya lagi. 

“Ada risiko menunggak atau gagal bayar, itu perlu diperhatikan pemerintah. Potensi kerugiannya juga perlu dipertimbangkan. Kalau nggak diawasi lembaga keuangan (OJK) nanti bisa disalahgunakan,” pungkasnya. (sha/far)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
02:08
06:10
01:41
03:04
02:15
03:41
Viral