Psikolog: Anak Anak Sekarang Sangat Mungkin Lakukan Tindakan Kriminal
Jakarta, tvOnenews.com - Diskusi terkait penanganan kasus perundungan kembali mengemuka setelah meninggalnya seorang siswa SMPN 19 Tangerang Selatan akibat dugaan bullying.
Dalam program Apa Kabar Indonesia Pagi, para narasumber menyoroti lemahnya sistem disiplin sekolah, minimnya ruang dialog, hingga tidak adanya standar operasional prosedur (SOP) yang jelas untuk mengatasi kekerasan antar pelajar.
Pengamat pendidikan Abdullah Ubaid Matraji menegaskan bahwa sekolah-sekolah di Indonesia masih mengandalkan pendekatan kekerasan dalam memberikan sanksi kepada murid.
Ia mencontohkan kasus di Lebak di mana siswa yang kedapatan merokok justru dipukul tanpa diberikan pemahaman tentang bahaya rokok.
Menurutnya, pola seperti ini mendorong normalisasi kekerasan karena anak tak pernah diberi ruang untuk memahami konsekuensi dari tindakan mereka.
Ubait mendorong penerapan keadilan restoratif dan dialog terbuka di sekolah, bukan hanya pemanggilan orang tua atau pemberian hukuman fisik.
Sementara itu, perkembangan penyidikan kasus di Tangsel terus berjalan. Polres Tangerang Selatan telah memeriksa enam saksi, termasuk pihak sekolah.
Polisi mengaku bergerak meski belum menerima laporan resmi dari keluarga hingga korban meninggal dunia.
Psikolog Aully Grashinta menambahkan bahwa para pelaku bullying tidak jarang juga merupakan korban frustrasi dan tekanan, baik dari lingkungan sekolah maupun keluarga.
Ia menilai proses pemindahan siswa pelaku ke sekolah lain tanpa pendampingan tidak akan menyelesaikan masalah. Tanpa edukasi dan rehabilitasi, perilaku serupa berpotensi terulang.
Lebih jauh, Ubaid menyoroti minimnya tanggung jawab institusi pendidikan. Menurutnya, kepala sekolah adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas keselamatan siswa.
Ia bahkan mengusulkan agar sekolah yang berkali-kali lalai bisa dievaluasi ketat hingga penurunan akreditasi.
Para narasumber juga menyinggung pernyataan Wali Kota Tangerang Selatan yang menyebut korban memiliki riwayat tumor.
Pernyataan itu dinilai sebagai bentuk pembelaan diri. “Itu lari dari tanggung jawab. Mestinya pemerintah daerah mengevaluasi Satgas dan TPPK yang bekerja di bawah SK Wali Kota,” kata Ubait.
Baik Ubaid maupun Sinta sepakat bahwa problem bullying tidak dapat dilihat sebagai isu sekolah semata, melainkan gambaran dari budaya kekerasan yang lebih luas. Minimnya anggaran, beban kerja guru, dan tidak berfungsinya Satgas perlindungan anak turut memperparah situasi.
Ia menekankan pentingnya sinergi pemerintah, sekolah, dan keluarga dalam membangun lingkungan belajar yang aman.
Di akhir diskusi, keduanya berharap kasus-kasus perundungan dapat ditekan menjelang akhir tahun.
Edukasi, penegakan SOP yang tegas, serta tanggung jawab institusional dinilai menjadi kunci untuk memastikan sekolah kembali menjadi ruang aman bagi seluruh siswa.