Foto "Sport": Objek Cuan Rawan Aturan
Jakarta, tvOnenews.com - Tren fotografi olahraga semakin marak dalam beberapa tahun terakhir. Dari ajang lari massal, Car Free Day (CFD), hingga aktivitas santai di ruang publik, kamera hampir selalu hadir untuk mengabadikan momen.
Foto-foto ini bukan hanya sekadar kenangan pribadi, melainkan juga bagian dari gaya hidup dan eksistensi di media sosial.
Fenomena ini didukung munculnya aplikasi dokumentasi personal yang menghubungkan fotografer dengan pengguna.
Dilengkapi teknologi kecerdasan buatan (AI), layanan ini memungkinkan pencarian foto otomatis melalui pemindaian wajah atau kode QR. Namun di balik kemudahan itu, muncul perdebatan soal privasi.
Bagi banyak masyarakat, keberadaan fotografer di pinggir jalan saat CFD justru menjadi penyemangat.
Dokumentasi olahraga dianggap sebagai bentuk apresiasi diri sekaligus motivasi untuk terus beraktivitas.
Namun, sebagian orang merasa terganggu ketika wajah mereka direkam tanpa izin.
Mereka khawatir foto tersebut beredar bebas atau bahkan diperjualbelikan tanpa persetujuan. Beberapa peserta memilih memberi tanda khusus kepada fotografer jika tidak ingin difoto.
Bagi fotografer, tren ini membuka ruang ekonomi kreatif. Hasil jepretan bisa dijual dengan harga bervariasi, misalnya Rp100 ribu untuk satu paket dokumentasi di satu lokasi CFD. Meski begitu, mereka mengaku tetap menghormati privasi.
Pengamat IT mengingatkan, tubuh seseorang adalah bagian dari data pribadi yang dilindungi undang-undang.
Foto tanpa izin bisa disalahgunakan, misalnya untuk iklan, manipulasi digital, hingga penyebaran informasi palsu.
Dari sisi hukum, penggunaan foto tanpa izin juga bisa menimbulkan konsekuensi. Secara perdata, korban dapat menuntut ganti rugi.
Sedangkan secara pidana, tindakan ini dapat dijerat Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan, terutama bila foto dipakai untuk kepentingan komersial tanpa persetujuan.
Fenomena fotografi olahraga menunjukkan bahwa di tengah kemajuan teknologi, regulasi dan kesadaran etika sangat dibutuhkan.