Badai Eks Kerispatih beri Tanggapan soal Putar Musik Bayar Royalti
Jakarta, tvOnenews.com - Para pengusaha hotel di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), kaget dan bingung dengan munculnya surat tagihan dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) terkait royalti musik.
Pasalnya, tagihan itu datang secara mendadak, setelah viralnya sengketa royalti musik di gerai Mie Gacoan Bali beberapa waktu lalu.
Seperti diketahui, komunitas musik Indonesia tengah menghadapi polarisasi yang meruncing terkait regulasi royalti (performing rights).
Hal itu memicu terbentuknya dua kelompok utama dengan kepentingan berbeda.
Di satu sisi, Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), didirikan oleh Ahmad Dhani dan Piyu pada Juli 2023, memperjuangkan hak-hak ekonomi pencipta lagu.
Di sisi lain, Vibrasi Suara Indonesia (VISI) yang diinisiasi oleh Ariel, Armand Maulana, dan sejumlah musisi lainnya mengadvokasi kepentingan pelaku pertunjukan (penyanyi).
Konflik ini semakin memanas setelah putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada Februari 2025 menyatakan penyanyi Agnez Mo harus membayar ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar kepada pencipta lagu ”Bilang Saja”, Ari Bias.
Putusan ini dianggap VISI sebagai ancaman terhadap kebebasan musisi dalam membawakan lagu ciptaan orang lain, sementara AKSI melihatnya sebagai langkah maju dalam melindungi hak pencipta lagu.
Regulasi yang menjadi akar permasalahan ini adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, mengatur performing rights sebagai hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengontrol penggunaan karya dalam pertunjukan publik.
Aturan ini mewajibkan pembayaran royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), sebuah lembaga yang bertugas mengumpulkan dan mendistribusikan royalti kepada pemegang hak cipta.
Doa Di Badai Hollo atau Badai, mantan pemain keyboard Krispatih mengatakan bahwa efek dari adanya konflik ini adalah ketidakpercayaan dari para pencipta lagu pada kinerja Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
“Karena pada dasarnya kami sebagai pencipta lagu itu tidak pernah melakukan perjanjian dengan LMK. Nah, ini harus digarisbawahi ya. Perjanjian lisensi pencipta lagu itu hanya dilakukan dengan LMK. Makanya kami mempertanyakan sebenarnya kedudukan LMKN ini selain ditegaskan dalam PP 56 tahun 2021 itu kedudukannya seperti apa? Karena sebenarnya pencipta tidak pernah melakukan perjanjian lisensi dengan LMKN.” tutur Badai.
Badai juga mempertanyakan transparansi LMKN dalam menagih royalti dan juga tidak ada bukti empiris yang mengatakan bahwa ada kenaikan signifikan dari penagihan eh royalti performing.