- istimewa
Sabu 2,1 Ton dan Jurnalisme “Kaki”
Dalam pandangan Martinus, para sindikat disinyalir semakin canggih dalam “mensiasati” hukum. Untuk menghindari pelacakan keuangan, banyak hal mulai biasa dilakukan sindikat, misalnya dengan pencucian uang. Dana hasil kejahatan penjualan sabu digunakan untuk mendirikan usaha money changer, restoran atau kafe. Ada pula pemain yang menggunakan mata uang crypto untuk menghindari kejaran PPATK.
- Antara
Jadi, kita sama sekali tak boleh abai dan harus semakin gencar melakukan sosialisasi penyalahgunaan narkoba. Sabu adalah narkoba paling populer di Indonesia karena efeknya yang dianggap “kuat dan cepat”. Banyak digunakan oleh pekerja malam, buruh pelabuhan, pengemudi, bahkan pelajar dan pekerja kantoran karena dianggap sebagai “penambah stamina”. Perlu ada kampanye bersama yang lebih massif dan terstruktur menjelaskan bahaya konsumsi sabu yang sesungguhnya, apalagi jika dicampur zat lain (seperti fenilpropana).
Di sisi lain, tingginya jumlah pengguna narkoba sabu juga menyisakan masalah baru: penjara penuh dengan pengguna, bukan bandar. Saya kira kita perlu lebih serius membangun pendekatan yang mencegah, bukan hanya menghukum para pengguna narkoba yang terbukti hanya sebagai “pasien” saja.
Demikian, “turba” jurnalistik saya bulan lalu membuka mata saya kembali, masalah pemberantasan narkoba—terutama sabu (methamphetamine)—di Indonesia ternyata dalam dan kompleks, menyangkut banyak aspek: hukum, ekonomi, sosial, hingga kelembagaan, namun saya terngiang pepatah lama: di mana ada kemauan, di situ ada jalan.