- tim tvonenews.com
Martabat Palestina
(Wapemred tvonenews.com Ecep S Yasa (kanan) mewawancara salah satu pendiri Hamas Khaled Mashal (kiri). Sumber: Dok Pribadi)
Dengan pengalaman ini, saya jadi paham bagaimana Mohammed Deif punya kecanggihan pengetahuan perang dan diplomasi. Ia barangkali adalah Che Guevara bagi bangsa Palestina. Selama tahun 2000-an, dia selamat dari empat upaya pembunuhan oleh Israel walau harus menderita luka-luka parah --termasuk kehilangan salah satu mata dan beberapa bagian tubuhnya.
Upaya pembunuhan kelima atas Deif terjadi saat operasi militer Israel di Gaza pada 2014. Saat itu Israel melancarkan serangan udara atas sebuah rumah di kawasan Sheikh Radwan di Gaza, yang menewaskan istri Deif, Widad, dan anaknya yang masih bayi, bernama Ali. Israel mengira serangan itu turut menewaskan Deif. Tak lama kemudian, Hamas menyatakan bahwa Deif "masih hidup dan memimpin operasi militer" atas Israel.
Ia membangun roket Al qassam, salah satu harga diri Hamas yang dilecehkan selama bertahun tahun sebagai “teror” yang tak efektif. Roket yang baru dimiliki pejuang Hamas pada 2001 ini memang dibangun perlahan lahan. Ia hanya rakitan dari besi besi tua berpelontar yang diberi bahan peledak. Daya jangkaunya rendah, bahkan kerap jatuh di wilayah Palestina sendiri.
Siapapun yang pernah dinista dan diabaikan pasti mafhum apa yang bergejolak di dada Deif ketika melihat warga Palestina hidup dalam tahanan terbesar di dunia.
Pada 2002 Perdana Menteri Ariel Sharon membangun dinding dinding pembatas dari beton setinggi 10 meter atau dua kali lipat lebih tingginya dari tembok Berlin. Israel beralasan tembok hanya untuk menandai batas batas wilayahnya, namun kenyataannya demarkasi itu meruyak sepanjang 650 kilometer, merentang melintasi Tepi Barat Sungai Yordan dan Yerusalem Timur. Tak cukup, kawat berduri, radar, kamera pengintai, juga parit di gali di kedua sisi.
Pagar seolah membawa pesan, ada pihak yang di dalam, “ditahan”, ada yang di luar, bebas berkeliaran. Bagi anak anak Palestina tembok menghapus identitas mereka. Seolah jadi anak Palestina adalah beban, memanggul KTP Palestina adalah kesengsaraan hidup.
Deif terpukul melihat warga kota el Azariyah, misalnya setiap pagi perlu alat pengangkut barang untuk menyeberangkan anak-anak mereka melintasi dinding untuk pergi ke sekolah.