news

Daerah

Bola

Sport

Gaya Hidup

Video

Tvone

Petugas evakuasi korban tertimpa reruntuhan di Ponpes Al Khoziny Sidoarjo.
Sumber :
  • Istimewa

45 Santri Ponpes Al Khoziny Sidoarjo Meninggal Dunia, Psikiater Ingatkan 5 Fase ini akan Dirasakan Keluarga Korban

Hingga kini tim SAR Gabungan masih berusaha mengevakuasi korban dari insiden runtuhnya mushola Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny Sidoarjo, Jawa Timur.
Minggu, 5 Oktober 2025 - 22:00 WIB
Reporter:
Editor :

tvOnenews.com - Hingga kini tim SAR Gabungan masih berusaha mengevakuasi korban dari insiden runtuhnya mushola Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny Sidoarjo, Jawa Timur.

Badan Pencarian dan Penyelamatan Nasional (Basarnas) menyatakan hingga Minggu (5/10/2025) malam, tim penyelamat berhasil mengevakuasi 19 jenazah dari reruntuhan.

“Hari ini kami telah berhasil mengevakuasi 19 jenazah dan semuanya telah dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya,” ungkap Direktur Operasi Basarnas, Laksamana Pertama TNI, Yudhi Bramantyo.

Tim gabungan telah berhasil mengevakuasi total 149 korban dengan 104 korban selamat, sedangkan 45 korban dinyatakan meninggal dunia.

Yudhi menambahkan, proses pembongkaran puing-puing banynan yang roboh telah mencapai 75 persen dari total bangunan.

Tentunya peristiwa ini menimbulkan duka mendalam bagi keluarga korban. Sehingga perlu bagi seseorang di lingkungannya agar memperhatikan psikologi para orang tua santri.

Seorang Psikiater, dr Danardi Sosrosumihardjo membagikan penjelasan tentang reaksi yang akan diterima oleh keluarga korban saat menerima duka dari musibah runtuhnya bangunan Ponpes Al Khoziny Sidoarjo ini.

dr Danardi menjelaskan terdapat pakar Psikiatri, Elisabeth Kubler-Ross yang membagikan sebuah teori mengenai reaksi duka khususnya terhadap bencana seperti ini, terbagi menjadi lima tahapan.

Psikiater, dr Danardi Sosrosumihardjo
Sumber :
  • Tim tvOne - Apa Kabar Indonesia Malam

 

Tahapan pertama, ketika seseorang mendengar berita ini mungkin akan syok dan mencoba untuk menyangkal dengan apa yang terjadi.

“Mungkin anak saya barangkali tidak disana, atau semoga anak saya di blok yang lain. Artinya, belum bisa menerima bahwa hal itu akan terjadi pada dirinya,” ungkap dr Danardi Sosrosumihardjo

Pada tahap berikutnya yaitu Anger atau marah. Disaat penyangkalan tidak dapat dipertahankan, maka kemarahan bisa timbul.

Kemarahan ini bisa dirasakan kepada diri sendiri, orang lain, maupun terhadap takdir seseorang. 

“Aduh ini kenapa terjadi pada diri saya ya? Kenapa anak saya di blok situ. Atau bangunannya kurang apa,” ujarnya.

Pada tahapan ketiga yaitu Bargaining atau tawar-menawar, dimana seseorang mulai mencoba berdamai tetapi dengan mengandai-andai.

Seseorang akan mencari jalan keluar atau menawar dengan kekuatan yang lebih tinggi seperti Tuhan untuk menunda atau membalikkan keadaan.

Sehingga seseorang akan mengandai-ngandai seakan mencoba tidak pernah terjadi.

“Coba seandainya anak saya hari itu nggak masuk ya. Coba seandainya saya membawa anak saya itu kemana. Artinya, seseorang akan mencoba seandainya-seandainya,” kata dr Danardi.

Namun, fase ini masih menjadi fase dimana sesuatu yang dipikirkan itu tidak nyata.

{{imageId:371726}} 

Setelah menyadari bahwa fase tawar-menawar ini tidak berhasil, kemudian akan memasuki tahapan berikutnya yang mulai bisa menerima namun diikuti dengan depresi.

Akan timbul perasaan hampa, kesepian serta kurangnya motivasi. Seseorang bisa saja menarik diri dari lingkungan sosial dan merasa sangat bersedih.

Tahap ini juga bisa menjadi waktu untuk merefleksikan diri setelah kehilangan.

“Anak saya mengalami bencana disitu. Anak saya tertindih disitu, mungkin anak saya juga bisa meninggal,” jelas Psikiater ini.

“Itu sudah mulai masuk di fase depresi. Mulai sedih, mulai menangis, mulai tidak bertenaga,” sambungnya.

Kalau sudah bisa mencoba berdamai lagi, maka sudah berada dalam fase acceptance atau menerima keadaan. 

Bukan berarti tidak merasakan sakit, namun dalam fase ini seseorang sudah tidak lagi melawan realita dan cenderung bisa menerimanya.

“Oh mungkin ini memang harus takdir saya. Mungkin ini memang harus saya hadapi. Ada sesuatu yang sedang diuji kepada saya,” tuturnya.

Menurut dr Danardi, seseorang memang akan membutuhkan waktu untuk melalui kelima fase tersebut. 

Waktu adaptasi yang akan dilalui setiap orang berbeda-beda. Hal ini bisa tergantung pada daya tahan seseorang atau mekanisme koping.

Dimana seseorang akan melakukan sesuatu untuk mengatasi tekanan dan tuntutan stress yang mengancam.

Perilaku ini bertujuan untuk mengurangi dampak negatif akibat stres, menjaga keseimbangan emosional dan beradaptasi dengan perubahan.

“Adaptasi seseorang itu bisa saja melewati fase 1, 2, 3 kembali ke 2 lagi. Atau fase 2, 3, 4, kembali ke 3 lagi,” pungkasnya.

Oleh karena itu harus ada pendampingan kepada orang tersebut. Serta pendamping harus paham seseorang itu sedang berada di tahap apa agar dapat memberikan konseling yang tepat. 

(kmr)

Berita Terkait

Topik Terkait

Saksikan Juga

11:47
15:11
07:39
18:33
03:26
01:19

Viral