- ANTARA
Ahli Sebut BPKP Tidak Punya Dasar Hukum Penghitungan Kerugian Negara di Kasus Timah
Romli juga menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 2 dan Pasal 3 UU tentang Tipikor, yang menghapus istilah “dapat” dalam frasa menimbulkan kerugian negara.
MK menghapus kata "dapat" dalam perkara korupsi karena bertentangan dengan UUD 1945. Putusan itu menyatakan bahwa kerugian negara yang terjadi harus bersifat nyata dan pasti (actual loss) serta dapat dihitung oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
“Jika kerugian hanya berdasarkan perkiraan, itu tidak dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam memutus perkara tipikor. Hakim bebas mempertimbangkan, tetapi MK menegaskan bahwa kerugian harus konkret,” tuturnya.
Oleh karena itu, dirinya berpendapat laporan yang digunakan dalam kasus PT Timah Tbk. terkesan dipaksakan, terlebih kasus tersebut menyasar pihak swasta yang hanya merupakan mitra kerja dari anak usaha BUMN itu.
Romli diperiksa sebagai ahli dalam kasus dugaan korupsi timah yang menyeret antara lain dirinya beserta tiga petinggi smelter swasta sehingga secara total merugikan negara senilai Rp300 triliun.
Ketiga petinggi smelter dimaksud, yakni Pemilik Manfaat CV Venus Inti Perkasa (VIP) dan PT Menara Cipta Mulia (MCM) Tamron alias Aon, General Manager Operational CV VIP dan PT MCM Achmad Albani, serta Direktur Utama CV VIP Hasan Tjhie.
Selain ketiga petinggi smelter swasta, terdapat pula pengepul bijih timah (kolektor), Kwan Yung alias Buyung yang didakwakan perbuatan serupa.
Dengan begitu, perbuatan keempat terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kendati demikian khusus Tamron, terancam pula pidana dalam Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).(ant/lgn)