- Istockphoto
Mengelola Informasi di Tengah Bencana: Tips Komunikasi Publik agar Tak Picu Kepanikan dan Menekan Hoaks dan Spekulasi
tvOnenews.com - Komunikasi publik memegang peran penting dalam penanganan bencana. Informasi yang tidak jelas atau terlambat kerap memicu kepanikan, spekulasi, bahkan ketidakpercayaan publik. Karena itu, banyak negara maju menempatkan komunikasi krisis sebagai bagian tak terpisahkan dari manajemen bencana.
Jepang, misalnya, menerapkan sistem komunikasi satu pintu saat terjadi gempa atau tsunami. Pemerintah secara rutin menyampaikan pembaruan kondisi melalui konferensi pers terjadwal dengan data yang konsisten (Cabinet Secretariat of Japan). Pendekatan ini dinilai efektif menekan penyebaran informasi keliru.
Di Amerika Serikat, FEMA menekankan prinsip clear, consistent, and data-driven communication. Studi OECD tentang risk communication menyebutkan bahwa komunikasi berbasis data dan transparansi membantu menjaga kepercayaan publik, terutama di tengah situasi darurat yang berkembang cepat.
Melansir dari berbagai sumber, berikut beberapa tips komunikasi yang relevan dalam penanganan bencana, diselaraskan dengan praktik global dan pengalaman penanganan bencana.
1. Sampaikan Informasi Berbasis Data, Bukan Dugaan
Salah satu prinsip utama komunikasi bencana adalah menyampaikan fakta yang telah diverifikasi. Informasi yang disampaikan sebaiknya mencakup data konkret mengenai kondisi lapangan, langkah yang telah dilakukan, serta progres pemulihan.
Dalam konteks bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, pemerintah menyampaikan data spesifik seperti pengerahan 12 helikopter untuk evakuasi, pembangunan jembatan darurat, serta pemulihan sekitar 80 persen layanan rumah sakit dan puskesmas. Pendekatan berbasis data ini dinilai membantu publik memahami situasi secara objektif.
2. Gunakan Bahasa yang Jelas dan Mudah Dipahami
Komunikasi krisis tidak boleh sarat istilah teknis yang membingungkan masyarakat. Pesan harus disampaikan dengan bahasa sederhana, lugas, dan mudah dipahami lintas kelompok usia dan latar belakang.
“Salah satu contohnya, apa yang disampaikan oleh Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya bisa memberikan informasi tentang kondisi terkini di area bencana Sumatera, ini menunjukkan peningkatan di sektor komunikasi publik,” ujar Analis komunikasi politik Hendri Satrio.
3. Lakukan Pembaruan Informasi Secara Berkala
Ketidakpastian sering muncul karena minimnya pembaruan informasi. Praktik di Jepang dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa pembaruan berkala, meski singkat, dapat mencegah munculnya spekulasi di ruang publik. “Komunikasi yang jelas dan berbasis data seperti ini membantu mengarahkan persepsi publik serta membangun kepercayaan bahwa upaya pemulihan sedang berjalan terarah,” tambahnya.
4. Tutup Celah Informasi untuk Menekan Spekulasi
Media sosial kerap menjadi sumber informasi alternatif saat krisis. Jika pemerintah tidak hadir dengan informasi resmi yang cukup, celah tersebut akan diisi oleh rumor.
Pendekatan komunikasi kali ini sebagai pergeseran dari pola reaktif menuju penyajian data terukur. Model ini dinilai dapat mengurangi ruang spekulasi yang berkembang di media sosial.
5. Jaga Transparansi, Termasuk pada Keterbatasan
Transparansi tidak hanya soal menyampaikan capaian, tetapi juga menjelaskan tantangan yang dihadapi di lapangan. OECD menekankan bahwa pengakuan atas keterbatasan justru meningkatkan kredibilitas komunikasi krisis.
Pendekatan ini tercermin dalam penyampaian informasi yang menjelaskan kondisi pemulihan layanan kesehatan yang masih berlangsung, bukan sekadar hasil akhir.
6. Konsistensi Pesan antara Pusat dan Lapangan
Komunikasi yang efektif menuntut keselarasan antara informasi yang disampaikan di tingkat pusat dan realitas di lapangan. Ketidaksesuaian informasi dapat memicu distrust publik.
Efektivitas komunikasi akan sangat bergantung pada implementasi kebijakan dan respons terhadap masukan dari berbagai pihak.
7. Jadikan Komunikasi sebagai Bagian dari Manajemen Bencana
Komunikasi krisis seharusnya tidak bersifat ad hoc. Pendekatan yang diterapkan pemerintah dalam penanganan bencana dapat menjadi rujukan ke depan. “Ini blueprint komunikasi krisis yang bisa dipakai lagi untuk situasi apa pun ke depannya, dengan transparansi sebagai elemen kunci mengelola distrust publik,” katanya.
Keberhasilan model ini akan diuji oleh konsistensi dan kemampuan pemerintah menutup celah informasi yang tersisa di lapangan.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip tersebut, komunikasi bencana tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai instrumen penting untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan respons krisis berjalan lebih terarah.
Komunikasi dalam situasi bencana bukan sekadar menyampaikan kabar, tetapi membangun pemahaman bersama di tengah ketidakpastian.
Informasi yang jelas, berbasis data, konsisten, dan disampaikan secara berkala dapat membantu publik mengambil keputusan yang lebih tepat serta mengurangi kepanikan.
Pengalaman penanganan bencana menunjukkan bahwa komunikasi yang dikelola dengan baik berpotensi menjadi bagian penting dari manajemen krisis secara menyeluruh. Tantangan ke depan terletak pada konsistensi penerapan prinsip-prinsip tersebut, agar kepercayaan publik tetap terjaga di setiap situasi darurat. (udn)