news

Daerah

Bola

Sport

Gaya Hidup

Video

Tvone

Menata Ulang Sistem Bencana Berbasis Kepemimpinan Lokal, dan Mengapa Pelaku Lokal Menjadi Kunci Utama Penanganan Bencana di Indonesia.
Sumber :
  • Antara

Mengapa Pelaku Lokal Menjadi Kunci Utama Penanganan Bencana di Indonesia

Negara rawan bencana yang memiliki kekuatan besar pada jejaring komunitas. Pengalaman berulang menunjukkan bahwa saat bencana terjadi, pelaku lokal, mulai dari
Kamis, 25 Desember 2025 - 23:52 WIB
Reporter:
Editor :

tvOnenews.com - Dalam penanganan bencana dan kerja-kerja kemanusiaan, satu pelajaran penting terus menguat di tingkat global: kepemimpinan pelaku lokal menentukan keberhasilan respons dan pemulihan. 

Negara-negara maju seperti Jepang, Selandia Baru, dan Kanada telah lama menempatkan komunitas lokal sebagai aktor utama dalam manajemen bencana. 

Di Jepang, misalnya, sistem community-based disaster management memberi peran sentral pada warga, organisasi lokal, dan pemerintah daerah dalam merespons gempa serta tsunami. Pendekatan ini dinilai efektif karena pelaku lokal memahami risiko, budaya, dan kebutuhan warganya secara langsung.

Laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) dan OECD juga menegaskan bahwa respons kemanusiaan yang dipimpin pelaku lokal cenderung lebih cepat, adaptif, dan berkelanjutan. 

Prinsip localization of humanitarian aid bahkan menjadi agenda penting dalam World Humanitarian Summit, dengan dorongan agar pendanaan, koordinasi, dan pengambilan keputusan lebih banyak berada di tangan aktor lokal. 

Di negara-negara Eropa, organisasi masyarakat sipil lokal didorong menjadi mitra strategis pemerintah, bukan sekadar pelaksana lapangan.

Konteks ini relevan dengan Indonesia, negara rawan bencana yang memiliki kekuatan besar pada jejaring komunitas. Pengalaman berulang menunjukkan bahwa saat bencana terjadi, pelaku lokal, mulai dari komunitas, relawan, hingga organisasi masyarakat sipil, adalah pihak pertama yang hadir dan pihak terakhir yang bertahan mendampingi penyintas. 

Kesadaran inilah yang menjadi benang merah Kongres Kemanusiaan Indonesia ke-3, yang mendorong penguatan peran pelaku lokal dalam koordinasi kemanusiaan nasional.

Melansir dari ANTARA, Kongres Kemanusiaan Indonesia ke-3 digelar sebagai ruang refleksi dan konsolidasi untuk menata arah masa depan gerakan kemanusiaan di Indonesia. 

Mengusung tema “Dari Respon Bencana Banjir dan Longsor Sumatera Menuju Koordinasi Kemanusiaan yang Mandiri dan Kolaboratif Dipimpin oleh Pelaku Lokal”, kongres ini menegaskan bahwa kepemimpinan pelaku lokal bukan pilihan tambahan, melainkan kebutuhan sistemik.

“Pengalaman respon banjir dan longsor Sumatera menunjukkan bahwa pelaku lokal bukan pelengkap, melainkan fondasi. Mereka hadir paling awal, memahami konteks, dan menjaga martabat penyintas,” ujar Tomy Hendrajati, Dewan Pakar Kongres Kemanusiaan Indonesia III sekaligus Presiden Human Initiative. 

Pernyataan ini mempertegas realitas di lapangan, di mana kedekatan geografis dan sosial menjadi keunggulan utama pelaku lokal.

Berangkat dari pengalaman respon banjir dan longsor di Sumatera, kongres menyoroti peran komunitas dan organisasi lokal sebagai aktor kunci dalam fase darurat hingga pemulihan. 

Pemahaman terhadap kondisi sosial-budaya, jejaring komunitas yang kuat, serta kepercayaan masyarakat membuat bantuan yang disalurkan lebih tepat guna, adil, dan bermartabat. Hal ini sejalan dengan praktik di negara-negara maju yang menempatkan local knowledge sebagai bagian penting dari standar kemanusiaan.

Melalui berbagai sesi diskusi, peserta kongres membedah tantangan dan peluang membangun koordinasi kemanusiaan yang lebih setara. Isu kepercayaan, pembagian peran yang jelas, serta kolaborasi lintas aktor, mulai dari organisasi masyarakat sipil, komunitas, pemerintah, dunia usaha, hingga mitra internasional, menjadi sorotan utama. 

Kongres menegaskan bahwa kolaborasi tidak boleh menghapus inisiatif lokal, tetapi justru memperkuatnya. Sebagai hasil utama, Kongres Kemanusiaan Indonesia ke-3 merumuskan lima arah penguatan sistem kemanusiaan nasional. 

Salah satunya adalah mendorong kepemimpinan pelaku lokal sebagai inti koordinasi kemanusiaan melalui penguatan IHCP yang mandiri, akuntabel, dan legitimate. Transformasi ekosistem sumber daya kemanusiaan juga ditekankan, termasuk diversifikasi pendanaan serta akses yang lebih setara bagi pelaku lokal terhadap dana publik, CSR, dan internasional.

Selain itu, penguatan kapasitas dan standar kemanusiaan nasional menjadi agenda penting melalui pengembangan berkelanjutan organisasi masyarakat sipil lokal, penerapan Kerangka Kerja Kemanusiaan Indonesia, serta integrasi kearifan lokal dengan standar global. 

Dari sisi kebijakan, kongres mendorong lahirnya kebijakan kemanusiaan nasional yang lebih eksplisit dan kolaboratif, yang mengakui masyarakat sipil sebagai mitra setara pemerintah. Di tingkat global, kongres juga menegaskan komitmen Indonesia untuk berperan aktif dalam reformasi sistem kemanusiaan kawasan dan dunia.

“Kongres ini bukan titik selesai, melainkan titik tolak. Ukuran keberhasilan kita bukan pada seberapa rapi sistem yang dibangun, tetapi pada seberapa banyak martabat manusia yang berhasil kita jaga,” ungkap Convener AP-KI, M. Ali Yusuf (Gus Ali). 

Masa depan penanganan bencana dan kerja-kerja kemanusiaan tidak bisa lagi bertumpu pada pendekatan sentralistik dan reaktif. Kepemimpinan pelaku lokal harus ditempatkan sebagai poros utama, karena merekalah yang paling memahami konteks, risiko, dan kebutuhan penyintas. 

Dengan memperkuat koordinasi yang setara, akses pendanaan yang adil, serta kebijakan yang mengakui masyarakat sipil sebagai mitra strategis, Indonesia memiliki peluang besar membangun sistem kemanusiaan yang lebih tangguh, bermartabat, dan berkelanjutan. 

Ukuran keberhasilan kemanusiaan bukan semata kecepatan respon, melainkan sejauh mana martabat manusia tetap terjaga, dari fase darurat hingga pemulihan jangka panjang. (udn)

Berita Terkait

Topik Terkait

Saksikan Juga

01:13
01:47
02:41
01:22
01:17
00:57

Viral