- Istimewa
Industri Film Dinilai Perlu Ekosistem Pendanaan Berkelanjutan
Jakarta, tvOnenews.com - Pada Malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia 2025 yang lalu, film dokumenter panjang bertema lingkungan Tambang Emas Ra Ritek mencatat pencapaian penting dengan meraih Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2025.
Kemenangan ini menandai meningkatnya perhatian publik terhadap karya dokumenter yang mengangkat isu eksploitasi alam dan dampaknya bagi masyarakat.
Diproduseri Wahyu Adhi Nugroho dan disutradarai Alvina N.A, Ra Ritek dinilai tidak hanya sebagai capaian artistik, tetapi juga sebagai cerminan meningkatnya kegelisahan dan kemarahan publik terhadap praktik eksploitasi sumber daya alam yang dinilai kian masif.
Antusiasme terhadap film bertema lingkungan tersebut menunjukkan tren positif dalam perkembangan perfilman nasional.
Menanggapi pencapaian tersebut, Anggota DPR RI Komisi VII Novita Hardini menilai penghargaan yang diraih Ra Ritek memiliki makna lebih dari sekadar prestasi industri kreatif.
Menurutnya, film tersebut menjadi medium aspirasi baru masyarakat dalam menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan melalui karya kreatif.
Namun demikian, Novita menilai dukungan pemerintah terhadap pelaku industri kreatif, khususnya sektor film, masih belum optimal.
“Pemerintah harus bisa hadir khususnya dalam memberikan insentif bagi para pelaku industri kreatif di sektor film, terlebih bagi para pelaku yang membawa tema edukasi pendidikan positif dalam setiap karyanya. Pemerintah perlu menciptakan ekosistem Ventura yang merata yang dikhususkan pada Industri Film,” ujarnya, Minggu (14/12/2025).
Ia menegaskan, seiring berkembangnya kualitas karya film nasional, dukungan negara seharusnya lebih serius dan berkelanjutan.
“Dukungan terhadap Industri Film Nasional tidak cukup berhenti pada gelontoran KUR saja. Namun butuh ekosistem pendanaan yang berkelanjutan yang dikelola secara profesional dan transparan,” tegasnya.
Politisi Fraksi PDI Perjuangan itu juga menilai industri kreatif, termasuk perfilman, memiliki hak yang sama untuk mendapatkan dukungan pendanaan ventura sebagaimana sektor industri lainnya. Ia mencontohkan negara-negara seperti Korea Selatan, India, Tiongkok, dan Thailand yang telah lebih dahulu membangun ekosistem pendanaan perfilman secara serius.
“Negara-negara yang berhasil melakukan ekspor film besar-besaran sudah memiliki banyak pilihan ekosistem Ventura khusus perfilman sementara Indonesia belum ada. Pemerintah harus sadar, bahwa industri kreatif khususnya perfilman approachmentnya berbeda dengan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah),” terangnya.
Lebih lanjut, Novita menyoroti isu lingkungan yang diangkat Ra Ritek, yang menurutnya relevan dengan kondisi bencana sepanjang 2025.
“Mari kita renungkan selama 2025 ini. Hujan yang semestinya menjadi berkah bagi masyarakat, kini menjadi trauma besar. Banyak masyarakat takut ketika hujan datang, karena banyak hutan tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya,” ungkapnya.
Ia menegaskan pentingnya sinergi antara pengembangan industri kreatif dan agenda pelestarian lingkungan.
“Industri kreatif dan agenda lingkungan harus berjalan beriringan. Ketika karya kreatif mendapat ruang dan apresiasi, maka pesan pelestarian alam akan menjangkau publik lebih luas sekaligus membuka peluang ekonomi bagi para kreator,” tambahnya.
Sebagai mitra kerja pemerintah di sektor perindustrian, pariwisata, dan ekonomi kreatif, Novita menyatakan Komisi VII DPR RI akan terus mendorong kebijakan pengembangan industri kreatif yang berorientasi pada nilai keberlanjutan.
“Pelestarian alam adalah investasi jangka panjang bagi generasi mendatang. Ketika pesan ini disampaikan melalui karya kreatif yang berkualitas, dampaknya akan jauh lebih kuat dan berkelanjutan,” pungkasnya.