Sudah menjadi tradisi untuk sebagian warga Indonesia dalam melakukan kegiatan mudik. Mudik adalah satu hal yang sangat membahagiakan. Siapa yang tidak senang? Bertemu keluarga, sanak saudara di kampung halaman tercinta. Keluarga berkumpul dengan lengkap sambil menikmati hidangan khas Lebaran dilengkapi momen bermaaf - maafan yang membuat suasana semakin haru.
Seseorang yang melakukan mudik biasanya mempunyai kampung halaman yang cukup jauh dengan tempatnya tinggal. Istilah ini sering berlaku untuk para perantau, biasanya kegiatan mudik dilakukan pada saat bulan puasa sebelum menjelang hari raya Idul Fitri agar para pemudik bisa menjalankan Sholat Ied bersama dengan keluarga.
Tentunya mudik memakan waktu yang cukup lama dalam perjalanan. Seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh disebut dengan musafir. Di dalam Islam musafir berasal dari bahasa Arab yaitu, safara yang artinya bepergian. Tidak semua orang yang melakukan perjalanan dapat disebut musafir. Ini tergantung pada jenis perjalanan yang ditempuh. Pada zaman Rasulullah SAW, safar ditentukan berdasarkan waktu.
Menjadi musafir memiliki keistimewaan dalam menjalani ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT. Para musafir mendapatkan keringanan untuk menjalani puasa serta sholatnya, dikarenakan keadaan yang tidak memugkinkan untuk beribadah. Tapi pastinya semua ini dilandasi oleh ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk para musafir.
Berikut beberapa ketentuan - ketentuan bagi musafir.
1. Jika perjalanan dilakukan pada malam hari dan sebelum terbitnya fajar (waktu Subuh) sudah melewati batas daerah tempat tinggalnya dan waktu wilayah Indonesianya pun ikut berubah.
Hal ini diperbolehkan untuk seseorang Musafir tidak berpuasa, namun apabila seorang musafir melakukan perjalanan setelah terbitnya fajar maka hal sebaliknya, Allah SWT tidak memperbolehkan berbuka dan wajib berpuasa sehari penuh.
Load more