Apa iya, Pinjam Uang Lalu Bayarnya dengan Barang Dagangan Memangnya Boleh? Buya Yahya Sebut Kalau dalam Hukum Tolong Menolong, maka...
- YouTube Al Bahjah TV
tvOnenews.com - Memangnya boleh, pinjam uang lalu dibayar dengan barang dagangan? Buya Yahya jelasakan hukumnya dalam perspektif Islam, simak selengkapnya.
Di banyak pesisir Indonesia, fenomena utang piutang antara nelayan dan pedagang sudah menjadi hal yang lumrah.
Para nelayan kerap terjerat kebutuhan modal untuk melaut, sementara pedagang memiliki akses pada dana atau sarana penunjang.
Pola yang sering terjadi ialah nelayan meminjam uang kepada pedagang dengan kesepakatan bahwa hasil tangkapannya kelak harus dijual kembali kepada pedagang tersebut.
Dari situ, sebagian hasil tangkapan dipotong untuk membayar cicilan utang.
Skema semacam ini bukan hanya terjadi di dunia perikanan, melainkan juga di sektor pertanian. Para petani kerap meminjam modal kepada pemilik pupuk atau benih, lalu dipaksa menjual hasil panennya dengan harga yang ditentukan si pemberi pinjaman.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: apakah praktik tersebut sah menurut syariat, atau justru termasuk dalam kategori riba dan kezaliman?
Persoalan ini kemudian ditanyakan oleh salah satu jamaah kepada Buya Yahya, pengasuh Pondok Pesantren Al-Bahjah, sebagaimana dilansir dari YouTube Al-Bahjah TV.
“Bagaimana hukumnya jika nelayan berutang kepada pedagang, dan nantinya hasil nelayan dijual kepada pedagang tersebut. Ada juga dari hasil tangkapan, dipotong untuk menyicil bayar utang. Bagaimana hukumnya membayar utang dengan cara seperti itu?”
Menanggapi hal itu, Buya Yahya menjelaskan bahwa hukum utang piutang pada dasarnya adalah dianjurkan, selama didasari semangat tolong-menolong.
{{imageId:363849}}
Utang boleh dilakukan bila benar-benar dibutuhkan, dan pedagang yang memberi pinjaman harus menjunjung asas keadilan.
“Sehingga di dalam utang tidak boleh menambah, yang disebut dengan riba. Sebab biasanya orang berutang itu karena memang perlu, atau ada keperluan mendesak,” ujar Buya Yahya.
Ia menegaskan, praktik menambahkan beban kepada orang yang sedang kesulitan sama saja dengan mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Lebih lanjut, Buya Yahya mencontohkan: “Maka hukumnya boleh saja, dan termasuk hal yang sangat baik, dengan asas hukum tolong-menolong. Tapi catatannya adalah, jangan sampai nelayan dicekik dan dipaksa menjual hasil tangkapannya kepada pedagang, sementara membelinya dengan harga semaunya sendiri.”
Hal itu, menurutnya, sudah termasuk perbuatan zalim yang dilarang dalam agama.
Larangan Riba dan Kezaliman dalam Islam
Islam menempatkan utang piutang dalam posisi yang sangat serius. Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 282 bahkan memerintahkan agar utang piutang dicatat dengan jelas agar tidak menimbulkan perselisihan:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...” (QS. Al-Baqarah: 282).
Rasulullah SAW pun menekankan bahaya riba. Dalam hadis riwayat Muslim, beliau bersabda:
“Riba itu memiliki tujuh puluh tiga pintu. Yang paling ringan adalah seperti seseorang yang menzinai ibunya sendiri.”
Hadis lain juga menekankan pentingnya melunasi utang. Rasulullah bersabda:
“Jiwa seorang mukmin masih tergantung dengan utangnya sampai utang itu dilunasi.” (HR. Tirmidzi).
Dengan demikian, praktik utang piutang yang menolong nelayan tanpa riba adalah hal yang dibolehkan dan bahkan dianjurkan.
Namun, jika pedagang memaksa nelayan menjual hasil tangkapan dengan harga di bawah pasaran atau seenaknya, maka hal itu masuk kategori zalim.
Fenomena utang piutang antara nelayan dan pedagang merupakan realitas yang tidak bisa dihindari di Indonesia.
Namun, syariat Islam menegaskan agar praktik tersebut dijalankan dengan asas keadilan dan tolong-menolong, bukan untuk menjerat atau mencekik pihak yang lemah.
Pesan Buya Yahya jelas: jadilah pedagang yang “ahli surga,” yakni yang memberikan pinjaman dengan ikhlas, membeli hasil tangkapan dengan harga normal, dan memotong cicilan utang sesuai kesepakatan yang adil. (udn)
Load more