Suami Sudah Pisah Ranjang dan Tidur Terpisah dari Istri Lebih dari 3 Hari, Bolehkah dalam Islam? Menurut Para Ulama, Menjauhi Istri Termasuk....
- Istockphoto
tvOnenews.com - Kasus suami istri yang tidur pisah ranjang lebih dari 3 hari kerap terjadi dalam sebuah rumah tangga. Pasalnya, kebersamaan antara suami dan istri bukan hanya sekadar urusan mencari nafkah atau mengurus anak, tetapi juga tentang menjaga keintiman dan keharmonisan.
Salah satu bentuk keintiman itu terlihat dari kebiasaan tidur bersama dalam satu ranjang.
Meski terdengar sederhana, tidur bersama memiliki makna mendalam dalam Islam, sebab ia menjadi simbol kasih sayang, keterikatan emosional, hingga pemenuhan hak dan kewajiban suami istri.
Namun, realitasnya tak jarang suami dan istri memilih tidur terpisah, apalagi ketika konflik rumah tangga terjadi.
Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya hukum pisah ranjang dalam Islam? Apakah diperbolehkan, atau justru dianggap melanggar hak pasangan?
Larangan Bermusuhan Lebih dari Tiga Hari
Islam menekankan pentingnya menjaga hubungan baik, bukan hanya dengan pasangan, tetapi juga dengan sesama muslim. Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak halal bagi seorang muslim menjauhi saudaranya lebih dari tiga hari, keduanya saling bertemu namun saling berpaling. Yang terbaik di antara keduanya adalah yang lebih dulu memberi salam." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa kepada sesama muslim saja kita dilarang bermusuhan lebih dari tiga hari.
Maka, tentu terhadap pasangan hidup yang lebih dekat, larangan itu semakin kuat. Artinya, tidur terpisah karena konflik tanpa alasan syar’i bisa berakibat buruk pada keharmonisan rumah tangga.
Hukum Pisah Ranjang dalam Al-Qur’an dalam surat An-Nisa ayat 34:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Ayat tersebut memberi penjelasan ketika seorang istri berbuat nusyuz (durhaka kepada suami). Dalam kondisi demikian, suami diperintahkan menasihati, lalu jika masih membandel, boleh melakukan hajr (menjauhi di tempat tidur).
- Istockphoto
Namun, hajr ini tidak berarti meninggalkan rumah atau mengusir istri, melainkan tetap dalam satu rumah dengan aturan tertentu.
Syaikh Ibnu Utsaimin menegaskan bahwa hajr harus dilakukan dengan adab, misalnya:
1. Tidak menyapa atau memutus komunikasi sementara, maksimal tiga hari.
2. Tidak makan bersama seperti biasanya.
3. Tidur membelakangi istri atau berpisah ranjang sementara, namun tetap berada di rumah.
Dengan demikian, pisah ranjang bukanlah larangan mutlak, tetapi menjadi salah satu bentuk edukasi atau teguran ketika istri melakukan kesalahan.
Hak Istri yang Tidak Boleh Diabaikan
Dalam Islam, suami tidak hanya dituntut memberi nafkah lahir, tetapi juga nafkah batin. Menurut para ulama, menjauhi istri tanpa alasan syar’i seperti sakit, bepergian, atau masa haid, dapat dikategorikan sebagai bentuk kezaliman. P
Pasalnya, kebutuhan emosional dan biologis istri adalah hak yang wajib dipenuhi.
Allah SWT menegaskan dalam surat An-Nisa ayat 19:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًاۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا ١٩
"Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak."
Ayat ini menegaskan bahwa sekalipun ada ketidakcocokan, suami tetap wajib memperlakukan istri dengan baik, termasuk dalam hal kebersamaan di ranjang.
Di lapangan, masih ada suami yang salah memahami ayat tentang hajr. Banyak yang memilih meninggalkan rumah berhari-hari, atau bahkan mengusir istri dari rumah.
Padahal, Rasulullah SAW telah mencontohkan bahwa hajr hanya boleh dilakukan di dalam rumah, bukan dengan meninggalkan istri sendirian.
Hadits dari Mu’awiyah bin Haidah menyebutkan, Rasulullah SAW bersabda:
"Dan tidak meng-hajr (menjauhi istrinya dari tempat tidur) kecuali di dalam rumah." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Ini menunjukkan, pisah ranjang bukan berarti mengabaikan istri, melainkan cara mendidik dengan tetap menjaga martabat dan haknya.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa tidur terpisah bagi suami dan istri diperbolehkan dalam Islam dengan syarat-syarat tertentu, seperti untuk mendidik istri yang nusyuz atau karena alasan syar’i lainnya.
Namun, jika dilakukan tanpa sebab yang jelas, apalagi hanya karena ego atau emosi, maka hal itu bisa dianggap sebagai pengabaian hak istri dan dilarang oleh syariat.
Islam mengajarkan agar pasangan saling melengkapi, bukan menjauhkan diri. Karena itu, tidur bersama bukan hanya soal kenyamanan, melainkan juga bentuk ibadah yang menjaga cinta, kasih sayang, serta keutuhan rumah tangga. (udn)
Load more