Naik Haji Pakai Uang Haram Hasil Korupsi, Ibadahnya Diterima? Ustadz Abdul Somad: Siapapun yang Berangkat ke Makkah dengan Uang Haram...
- tim tvOnenews/istockphoto
tvOnenews.com - Fenomena korupsi di Indonesia sudah bukan hal asing lagi. Ironisnya, tak sedikit para pelaku korupsi justru terlihat menunaikan ibadah haji atau umrah, bahkan memamerkannya di hadapan publik.
Padahal, rukun Islam kelima ini menuntut kesucian niat dan harta sebagai bekal perjalanan. Pertanyaan besar pun muncul: apakah sah ibadah haji jika dibiayai dari hasil uang haram, seperti korupsi?
Al-Qur’an dengan tegas menyebutkan bahwa perintah haji berlaku hanya bagi mereka yang benar-benar mampu, baik fisik maupun finansial.
Allah SWT berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 97:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97).
Artinya, kesanggupan itu harus berasal dari harta yang halal, bukan dari hasil kezaliman terhadap orang lain.
Rasulullah SAW juga bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa setiap ibadah yang dipersembahkan kepada Allah haruslah berasal dari sumber yang halal.
Maka, harta yang diperoleh dengan cara haram, termasuk korupsi, tidak akan pernah menjadi bekal ibadah yang diterima.
Ustadz Abdul Somad (UAS), dalam salah satu ceramahnya, menegaskan bahwa uang haram tidak boleh digunakan untuk ibadah haji.
“Kalau niat kita berangkat naik haji tapi dari uang haram. Innallaha Thoyyibun Layaqbalu Illa Thoyyiban, artinya sesungguhnya Allah itu baik, Ia tidak menerima kecuali yang baik,” jelas UAS.
Pernyataan ini meneguhkan prinsip dasar dalam Islam bahwa ibadah harus dilakukan dengan niat tulus dan harta yang bersih.
Menurut UAS, siapa pun yang berangkat ke Makkah dengan uang hasil perbuatan haram, amalannya tidak akan diterima malaikat.
Ia menggambarkan dengan satir tentang berbagai istilah uang “tambahan” yang kerap dijadikan alasan.
“Dulu namanya duit tunjangan, sekarang bertambah, duit sundul, duit sipa’, duit tunjang, duit sikut. Setelah itu dibawa uang haram itu ke Makkah, menangis di pintu Ka’bah, mengucapkan labbaik allahumma labbaik labbaika la syarika laka labbaik,” ungkap UAS.
Namun, meskipun secara lahiriah ia berada di depan Ka’bah, UAS mengingatkan bahwa amalan itu bisa saja tidak sampai kepada Allah.
“Apa kata Malaikat, engkau tidak dapat panggilan, kau tidak dapat haji mabrur,” tegasnya.
Lebih jauh, UAS menjelaskan bahwa keberangkatan haji dengan uang haram tidak akan memberikan dampak perubahan pada diri seseorang.
Padahal, salah satu tanda haji mabrur adalah terjadinya transformasi akhlak setelah pulang dari tanah suci.
“Makanya berapa jumlah jamaah haji setiap tahun, tapi tidak memberikan efek pengaruh karena sebagiannya berangkat dari duit haram. Tidak ada perubahan, jangankan mengubah orang, mengubah diri saja tidak,” tambah UAS.
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang menunaikan haji lalu tidak berkata keji dan tidak berbuat fasik, maka ia kembali (bersih dari dosa) seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menekankan bahwa haji semestinya menjadi titik balik menuju kesucian diri. Namun, jika ibadah itu dibiayai dengan uang kotor, maka hikmah dan keberkahannya tidak akan diraih.
Peringatan keras ini seharusnya menjadi cermin bagi siapa pun, khususnya mereka yang memperoleh harta dengan cara curang dan zalim.
Ibadah haji bukan sekadar simbol sosial atau status, melainkan perjalanan suci yang menuntut kesungguhan hati, niat ikhlas, dan bekal halal.
Maka, pesan utama dari UAS jelas: jangan sampai seseorang tertipu dengan dirinya sendiri, merasa sudah beribadah padahal yang dibawanya adalah harta haram.
Sebab, Allah SWT hanya menerima ibadah yang bersih dari niat dan sumber yang halal. Dunia boleh menilai dengan tampilan ihram putih di tanah suci, tetapi di sisi Allah, hanya amal yang tulus dan sah yang akan diterima. (udn)
Load more