Saat Paskah 2025, Uskup Agung Jakarta: Kalau Bangsa Tidak Damai, Tanda Tak Berbakti kepada yang Lemah
- ANTARA/Anom Prihantoro
Jakarta, tvOnenews.com - Uskup Agung Jakarta Kardinal, Mgr. Ignatius Suharyo menyampaikan bahwa, momentum Paskah 2025 bentuk memperkuat agar bangsa semakin damai.
Menurutnya, bangsa yang damai sebagai indikator ada kebaktian kepada yang lemah begitu kuat. Hal ini menjadi waktu meningkatkan kepedulian melalui momentum Paskah 2025.
Paskah 2025 Momentum Tingkatkan Kebaktian dan Bantu yang Lemah
- ANTARA/Azfar Muhammad Robbani
"Kalau keadaan bangsa itu tidak damai dan tidak sejahtera, baktinya kepada Allah itu bisa diragukan. Karena bakti yang sejati hanya bisa dilihat dari indikatornya," kata Suharyo setelah Misa Pontifikal Minggu Paskah di Jakarta, Minggu (20/4/2025).
"Ternyata di dalam sejarah umat Allah itu, yang sudah dibekali dengan segala macam yang bagus, itu semakin lama semakin luntur," sambungnya.
Suharyo mengibaratkan soal manusia Paskah. Mereka menginginkan Yesus Kristus bisa bangkit dan membantu hidupnya sehari-hari.
Kebangkitan ini tidak serta merta mudah didapatkan karena harus melalui ciri-ciri seperti menerapkan suri teladan Yesus Kristus, berkeliling, dan terus melakukan kebaikan terhadap sesama.
Suharyo berpendapat, penabur harapan sudah masuk dalam contoh bisa berbuat baik kepada mereka, sebagaimana bukti hidup harus tolong-menolong.
Pada Tahun Yubileum 2025, kata Suharyo, waktu terbaik orang yang tidak berdaya kembali bangkit dengan catatan segala tatanan yang telah dirusak wajib diusahakan agar kembali pulih.
"Nah, Gereja Katolik, Keuskupan Jakarta, sedang merayakan ini, dan temanya tahun ini adalah Peziarah Pengharapan. Maka, umat Katolik dituntut, tidak hanya diminta, dituntut untuk mencari jalan supaya menjadi peziarah pengharapan dan penabur pengharapan," terang dia.
Lebih lanjut, Suharyo menuturkan bahwa, perbuatan baik tidak boleh terputus meskipun publik tidak bisa atau tak memiliki kewenangan terhadap ketentuan dari kebijakan.
Ia mengambil contoh seseorang yang berbuat kebaikan ketika menyediakan rumah untuk tempat beristirahat bagi seorang perempuan harus mengobati anaknya walaupun dari Kalimantan ke Jakarta.
"Banyak teman-teman, bukan hanya orang, umat Katolik, tetapi lintas agama yang menyediakan hal seperti ini. Tanda pengharapan. Penabur pengharapan," paparnya.
Ia menganggap orang yang berbuat kebaikan tidak perlu dibesarkan walaupun hal tersebut masih kecil. Contoh sederhananya mematuhi aturan lalu lintas bisa memberikan kenyamanan untuk pengguna jalan lainnya.
Sambil mengutip ucapan Paus Fransiskus, ia menyinggung isu berbasis kemanusiaan terjadi di Indonesia baru-baru ini, seperti perjudian secara daring, korupsi, hingga perdagangan orang (TPPO).
"Luka-luka bernanah akibat korupsi ini merupakan dosa berat yang berteriak ke surga. Karena luka itu merongrong dasar-dasar kehidupan pribadi dan masyarakat, korupsi membuat kita tidak mampu melihat masa depan dengan penuh harapan," tuturnya.
Perkara kekerasan rumah tangga dan bentrok antarwarga juga harus segera selesai. Menurut Suharyo, akar permasalahannya wajib dicari agar tidak terulang kembali ke depannya.
"Pemerintah, negara mencari akar dari masalah itu dan mencoba mencari jalan keluar. Dunia bisnis mesti mencari akar dari semuanya itu dan terlibat di dalam mengusahakan kebaikan bersama. Masyarakat, warga kita semua juga mencari jalan yang mesti kita temukan agar kita ikut berjalan sambil berbuat baik itu," tandasnya.
(hap)
Load more