Jika menilik kepada agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang diciptakan oleh manusia (al-adyān al-waḍ‘iyyah) terlihat bahwa pada jiwa manusia telah ada bibit-bibit kecenderungan beragama. Hal itu karena manusia mempunyai sifat merasa berutang budi, suka berterima kasih dan membalas budi kepada orang yang berbuat baik kepadanya.
Maka, ketika ia memperhatikan dirinya dan alam di sekililingnya, umpamanya roti yang dimakannya, tumbuh-tumbuhan yang ditanamnya, binatang ternak yang digembalakannya, matahari yang memancarkan sinarnya, hujan yang turun dari langit yang menumbuhkan tanam-tanaman, dia akan merasa berutang budi kepada “suatu Zat” yang gaib yang telah berbuat baik dan melimpahkan nikmat yang besar itu kepadanya.
Manusia memahami dengan akalnya bahwa Zat yang gaib itulah yang menciptakannya, yang menganugerahkan kepadanya dan kepada jenis manusia seluruhnya, segala sesuatu yang dibutuhkannya yang ada di alam ini, untuk memelihara diri dan mempertahankan hidupnya.
Karena merasa berutang budi kepada suatu Zat Yang Gaib itu, maka dia berpikir bagaimana cara berterima kasih dan membalas budi itu, atau dengan perkataan lain bagaimana cara “menyembah Zat Yang Gaib itu”.
Perihal bagaimana cara menyembah Zat Yang Gaib, adalah suatu masalah yang sukar, yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia.
Sebab itu, di dalam sejarah terlihat tidak pernah ada keseragaman dalam hal ini.
Bahkan akal pikiran manusia akan membawanya kepada kepercayaan mengagungkan alam di samping mengagungkan Zat Yang Gaib itu.
Karena pikirannya masih bersahaja dan belum tergambarkan di otaknya bagaimana menyembah “Zat Yang Gaib”, maka dipilihlah di antara alam ini sesuatu yang besar, yang indah, yang banyak manfaatnya, atau sesuatu yang ditakutinya untuk jadi lambang bagi Zat Yang Gaib itu.
Ketika dia mengagumi matahari, bulan dan bintang-bintang, sungai-sungai, binatang dan lain-lain, maka disembahnya benda-benda itu, sebagai lambang menyembah Tuhan atau Zat Yang Gaib itu, dan diciptakannya cara-cara beribadah (menyembah) benda-benda itu.
Dengan cara itu timbul suatu macam kepercayaan, yang dinamakan dengan “kepercayaan menyembah kekuatan alam”, seperti yang terdapat di Mesir, Kaldea, Babilonia, Asiria dan di tempat-tempat lain di zaman purbakala.
Dengan keterangan ini: tampak bahwa manusia menurut fitrahnya cenderung beragama, acap memikirkan dari mana datangnya alam ini, dan kemanakah kembalinya.
Bila manusia mau memikirkan: “Dari mana datangnya alam ini”, akan sampai pada keyakinan tentang adanya Tuhan, bahkan akan sampai kepada keyakinan tentang keesaan Tuhan (tauhid), karena akidah (keyakinan) tentang keesaan Tuhan ini lebih mudah, dan lebih cepat dipahami oleh akal manusia.
Karena itu dapat kita tegaskan bahwa manusia itu menurut nalurinya adalah beragama tauhid.
Sejarah telah menerangkan bahwa bangsa Kaldea pada mulanya adalah beragama tauhid, kemudian mereka menyembah matahari, planet-planet dan bintang-bintang yang mereka simbolkan dengan patung-patung.
Sesudah raja Namruż meninggal, mereka pun mendewakan dan menyembah Namruż itu.
Bangsa Asiria pun pada mulanya beragama tauhid, kemudian mereka lupa kepada akidah tauhid itu dan mereka sekutukan Tuhan dengan binatang-binatang, dan inilah yang dipusakai oleh orang-orang Babilonia.
Adapun bangsa Mesir, bila diperhatikan nyanyian-nyanyian yang mereka nyanyikan dalam upacara-upacara peribadatan, jelas bahwa tidak semua orang Mesir purbakala itu orang-orang musyrik dan waṡani (penyembah berhala), melainkan di antara mereka ada juga muwaḥḥidīn, penganut akidah tauhid.
Di dalam nyanyian-nyanyian itu terdapat ungkapan sebagai berikut:
“Dialah Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya”
“Dia mencintai seluruh makhluk, sedang Dia sendiri tak ada yang menciptakan-Nya”
“Dialah Tuhan Yang Maha Agung, Pemilik langit dan bumi, Pencipta seluruh makhluk”
Dapat ditegaskan bahwa akidah tauhid ini tidak pernah lenyap sama sekali, dan tetap ada. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta seluruh yang ada di alam ini.
Tuhan-tuhan atau dewa-dewa yang lain itu mereka anggap hanyalah sebagai pembantu dan pelayan atau simbol bagi Yang Maha Esa.
Orang-orang Arab sebelum datang agama Islam, kalau ditanyakan kepada mereka,
“Siapakah yang menjadikan langit dan bumi ini?” Mereka menjawab, “Allah.”
Kalau ditanyakan, “Adakah al-Lata dan al-Uzza itu menjadikan sesuatu yang ada pada alam ini?”
Mereka menjawab, “Tidak!” Mereka sembah dewa-dewa itu hanya untuk mengharapkan perantaraan dan syafaat dari mereka terhadap Tuhan yang sebenarnya. Allah berfirman tentang perkataan musyrikin Arab itu:
مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰى
“Kami tidak menyembah mereka, melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah, dengan sedekat-dekatnya.” (az-Zumar/39: 3)
Load more