Kandungan ayat ini menurut Syaikh Muhammad Ath-Thâhir bin ‘Âsyûr dalam kitabnya, At-Tahrîr wa at-Tanwîr, dikatakan sebagai prinsip dalam syariat Islam.
Demikian juga Syaikh Izzuddîn bin Abdis Salâm mengatakan bahwa ayat tersebut menjadi bangunan dasar di dalam semua rumusan hukum Islam atau fiqih.
Ayat tersebut berisi kewajiban bagi umat Islam untuk berlaku adil (al-‘adl) dan berbuat baik atau bijaksana (al-ihsân). Berlaku adil artinya memberikan hak kepada orang yang berhak (i‘thâ`u al-haqq ilâ shâhibihi).
Contoh tentang hal ini banyak sekali, misalnya jika kita punya tetangga yang sama-sama punya hak untuk lewat di jalan tertentu, maka kita tidak boleh melarangnya, karena kita dan dia memiliki hak yang sama.
Jika di negara kita ini setiap orang berhak untuk menjalankan agamanya masing-masing, maka kita tidak boleh melarang orang lain yang berbeda dengan kita untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, dan seterusnya.
Sedangkan al-ihsân atau berbuat baik artinya seseorang dalam berhubungan dengan orang lain harus memberikan pelayanan yang terbaik dan disenangi olehnya. Dalam ayat di atas disebutkan juga perintah îtâ`i dzi al-qurbâ, yakni perintah “memberi kepada kerabat”.
Perintah ini bagian dari contoh berbuat adil dan berbuat baik. Contoh ini sengaja disebutkan di dalam Al-Qur'an karena seseorang kerap lupa memberikan pertolongan kepada orang yang terdekat, orang tua, keluarga, maupun tetangga.
Seseorang terkadang tahu bahwa keluarganya sendiri atau tetangganya membutuhkan pertolongan, tapi seseorang sering melalaikannya dengan memilih atau mengurus orang yang jauh. Karena itu berbuat adil dan berbuat baik harus dimulai dari yang terdekat, keluarga, tetangga, teman dan seterusnya.
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ
Hadirin hadirat yang berbahagia,
Dalam berinteraksi dengan sesama manusia, selain Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan berbuat baik.
Allah juga melarang berbuat kerusakan yang membahayakan diri sendiri dan orang lain atau disebut al-fahsyâ` dan al-munkar, seperti membunuh, melukai, mencuri, minum arak dan yang lainnya.
Contoh perbuatan buruk yang disebutkan dalam ayat di atas adalah bertindak sewenang-wenang dalam berhubungan dengan sesama manusia atau bahkan makhluk Allah yang lain. Dalam ayat di atas disebut dengan istilah al-baghyu.
Al-Baghyu atau melakukan tindakan yang sewenang-wenang, ngawur, seenaknya sendiri sesuai dengan keinginan nafsunya bagian dari perilaku orang-orang Arab sebelum Al-Qur'an diturunkan atau disebut dengan “masa jahiliyah” yang berarti masa yang manusianya tidak bijaksana.
Masyarakat Arab pada masa jahiliyah adalah masyarakat pemarah, pemberani dan mengutamakan kekerasan dalam menyelesaikan segala persoalan. Jika ada orang dari sukunya dicaci maki maka mereka akan melakukan perang sampai bertahun-tahun.
Hanya karena merasa tersinggung maka ia akan menyerang terhadap orang yang dianggap menyinggungnya. Islam datang untuk menghilangkan kebiasaan buruk tersebut, jika seseorang marah Islam mengajarkan untuk bersabar.
Diceritakan di dalam hadis Nabi Muhammad SAW, ketika Nabi SAW dan sahabatnya terus menerus dicaci maki oleh orang-orang kafir Quraisy, bahkan Nabi SAW diancam hendak dibunuh, para sahabat Nabi tidak terima dan ingin membalasnya, tapi Nabi Muhammad SAW justru berpesan supaya bersabar.
لا تتمنوا لقاء العدو، وإذا لقيتموهم فاصبروا
“Janganlah kalian berharap bertemu musuh, jika kalian bertemu dengannya maka bersabarlah.”
Al-Quran turun dalam kondisi masyarakat yang pemarah dan pendendam, karena itu “larangan berbuat sewenang-wenang dan bermusuhan” secara khusus disebutkan di dalam ayat tersebut.
Tujuannya sebagai peringatan supaya dalam bermuamalah atau berhubungan dengan sesama manusia apabila ada masalah maka harus mengedepankan dialog, musyawarah, daripada menyelesaikannya dengan cara-cara kekerasan yang itu dilarang keras oleh agama yang mengajarkan nilai-nilai kasih sayang (rahmatan li al-‘âlamîn).
Load more