Ibnu Katsîr (w. 774 H) dalam karya tafsirnya, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Adhîm, menafsirkan kata (وَلا يَزالُونَ مُخْتَلِفِينَ) yang berarti “manusia senantiasa berbeda-beda” dalam ayat di atas dengan penjelasan:
ولا يزال الخلف بين الناس في أديانهم واعتقادات مللهم ونحلهم ومذاهبهم وآرائهم
“Manusia senantiasa akan terus berbeda-beda dalam hal agama, keyakinan, tradisi, madzhab, dan pendapat.”
Diceritakan dalam tafsir Ath-Thabarî, suatu ketika Nabi SAW sangat berharap semua umat manusia di muka bumi ini mengimaninya, mempercayai bahwa beliau seorang utusan Allah yang harus diikuti, namun Allah segera mengingatkannya bahwa tidak seorang pun di dunia ini punya hak untuk memaksa seseorang dalam keimanan yang sama.
Kapasitas Nabi Muhammad SAW hanya sebatas menjadi pemberi kabar gembira (mubasysyir) dan pemberi peringatan (mundzir), bukan sebagai pemaksa (mukrih).
Dalam QS. Yûnus 99 Allah SWT berfirman:
وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَأٓمَنَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ كُلُّهُمۡ جَمِيعًاۚ أَفَأَنتَ تُكۡرِهُ ٱلنَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُواْ مُؤۡمِنِينَ
“(Wahai Muhammad), jika Tuhanmu menghendaki, niscaya semua orang di muka bumi secara keseluruhan beriman (kepadamu). Maka apakah engkau (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”
Diceritakan oleh Abû Hurairah RA, ketika paman Nabi Muhammad SAW yang bernama Abû Thâlib hendak wafat, Nabi SAW meminta kepadanya supaya beriman kepada Allah dan utusan-Nya. Lalu Allah mengingatkan bahwa yang punya hak memberikan petunjuk atau hidâyah kepada manusia hanya Allah SWT semata.
إِنَّكَ لَا تَهۡدِي مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ
“(Wahai Muhammad) sesungguhnya engkau tidak akan bisa memberi petunjuk kepada orang yang engkau sayangi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash 56).
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ
Jamaah Idul Fitri yang dimuliakan Allah,
Ayat-ayat di atas hendak menegaskan bahwa perbedaan yang terjadi di sekitar kita bagian dari ketetapan Allah dalam menciptakan makhluk-Nya, sehingga kita tidak boleh memaksakan kehendak supaya semua makhluk menjadi sama.
Perbedaan merupakan anugerah yang patut kita syukuri dengan cara saling mengenali, memahami dan mengerti sehingga tercipta kehidupan yang rukun, aman, damai dan penuh dengan persaudaraan yang puncaknya kita dapat saling tolong menolong dalam kebaikan demi kemudahan menjalani kehidupan bersama.
Dalam berhubungan antar manusia atau disebut dengan mu’âmalah, Islam mengajarkan supaya mengedepankan dua prinsip, yaitu berlaku adil (al-‘adl) dan berbuat baik (al-ihsân) sebagaimana dijelaskan dalam ayat al-Quran yang selalu dibaca dalam setiap khutbah, baik khutbah Jumat, Idul Fitri maupun lainnya. Ayat tersebut berbunyi:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡيِۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh atau memerintahkan berlaku adil dan berbuat baik atau kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Allah memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl 90).
Ayat ini sejak tahun 99 H, yakni sejak 1.341 tahun yang lalu dibaca oleh para khâthib dalam setiap khutbah Jumat atas perintah dari Umar bin Abdul Azîz yang saat itu menjadi pemimpin umat Islam.
Sebelumnya, yakni sejak terjadi perang antarumat Islam, antara orang-orang yang anti terhadap sahabat Ali bin Abî Thâlib dengan orang-orang yang fanatik kepada Mu‘âwiyah bin Abî Sufyân para khâthib kerap menyampaikan caci maki terhadap orang-orang yang ia anggap sebagai musuhnya.
Lalu oleh Umar bin Abdul Aziz, para khathib diminta untuk menghilangkan perkataan-perkataan yang mengandung unsur permusuhan dan kebencian di dalam khutbahnya dan diganti dengan membaca QS. An-Nahl 90 di atas.
Load more