Jakarta - Seorang muslim diwajibkan menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Bagi yang berhalangan diwajibkan pula untuk puasa, namun diwajibkan membayarnya di bulan-bulan lainnya sebelum memasuki Ramadhan.
Sayyidah Aisyah radlhiyallahu anha adalah diantara orang yang apabila mempunyai utang puasa, selalu ia tunaikan ketika sudah berada pada bulan Sya’ban. Hal ini diceritakan oleh Abu Salamah dari Aisyah langsung:
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ»، قَالَ يَحْيَى: الشُّغْلُ مِنَ النَّبِيِّ أَوْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya:
“Saya mempunyai tanggungan utang puasa Ramadhan. Saya tidak mampu mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban. Menurut Yahya, Aisyah mengqadha di bulan Sya’ban dikarenakan ia sibuk melayani Nabi Muhammad
Lalu kenapa bulan Sya’ban yang dipilih oleh Aisyah untuk mengqadha puasanya?
Dilansir dari tulisan Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, Kota Semarang, penyebab kebiasaan Sayyidah Aisyah radlhiyallahu anha mengganti puasa di bulan sya’ban karena itu adalah bulan yang paling banyak dibuat puasa sunnah oleh Baginda Nabi Muhammad.
Oleh karena itu salah satu istri Nabi bergantian meluangkan waktu untuk mengqadha puasa. Atau kalau tidak begitu, karena mereka sudah pada bulan terakhir, mereka terdesak meminta izin kepada Nabi untuk mengqadha puasa.
Syekh Musthafa Dib al-Bugha menulis:
“Adapun pada bulan Sya’ban, Nabi berpuasa pada sebagian besar hari-harinya. Kemudian salah satu istri-istri Nabi meluangkan untuk berpuasa di dalamnya. Atau di antara mereka memang terdesak untuk meminta izin kepada Nabi untuk melaksanakan puasa karena waktunya sudah mepet” (Musthafa Dib al-Bugha, Ta’liq Shahih al-Bukhari, [Darul Thuqin Najah, 1422], juz 3, hal. 35)
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, hadits di atas juga menunjukkan bahwa Aisyah tidak pernah melakukan puasa sunnah. Aisyah berpandangan bahwa puasa sunnah bagi orang yang mempunyai tanggungan puasa wajib hukumnya tidak diperbolehkan sedangkan ia mulai bulan Syawal sampai bulan Rajab masih mempunyai utang puasa wajib.
قَوْلُهُ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ اسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى أَنَّ عَائِشَةَ كَانَتْ لَا تَتَطَوَّعُ بِشَيْءٍ مِنَ الصِّيَامِ لَا فِي عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ وَلَا فِي عَاشُورَاءَ وَلَا غَيْرِ ذَلِكَ وَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى أَنَّهَا كَانَتْ لَا تَرَى جَوَازَ صِيَامِ التَّطَوُّعِ لِمَنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ مِنْ رَمَضَانَ
Artinya: “Penjelasan tentang redaksi ‘Saya tidak mampu menunaikan qadha puasa tersebut kecuali di bulan Sya’ban.’ Menunjukkan bahwa Aisyah tidak pernah melakukan puasa sunnah sekalipun baik 10 hari bulan Dzulhijjah, tidak pula 10 hari di bulan Asyura’ dan lain sebagainya.
Hal ini berdasarkan pandangan Aisyah yang menganggap puasa sunnah bagi orang yang masih mempunyai tanggungan puasa Ramadhan hukumnya tidak diperbolehkan.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari li Ibni Hajar, [Beirut: Darul Ma’rifah, 1379], juz 4, hal. 191)
Pada hadits di atas juga dapat kita ambil pengertian bahwa mengqadha puasa Ramadhan tidak harus dengan sesegera mungkin, tapi bisa diperpanjang sampai bertemu Ramadhan berikutnya, baik pada saat meninggalkan tersebut karena uzur atau tidak. Keluasan waktu mengqadha apabila masih berada di bulan selain bulan Sya’ban. Namun apabila sudah masuk bulan Sya’ban, waktu mengqadha sudah menjadi sempit, tidak boleh ditunda-tunda lagi.
وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى جَوَازِ تَأْخِيرِ قَضَاءِ رَمَضَانَ مُطْلَقًا سَوَاءٌ كَانَ لِعُذْرٍ أَوْ لِغَيْرِ عُذْرٍ
Artinya: “Hadits tersebut menunjukkan diberbolehkannya mengakhirkan qadha Ramadhan secara mutlak baik karena uzur atau tidak.” (ibid)
Pernyataan Ibnu Hajar ini berbeda dengan beberapa ulama yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan puasa karena sembrono (tidak karena uzur), maka qadhanya harus sesegera mungkin. Berbeda apabila disebabkan uzur, qadhanya boleh ditunda-tunda selama tidak sampai Ramadhan berikutnya. Adapun mempercepat waktu qadha hukumnya sunnah.
Abu Bakar Al-Hishni dalam kitab Kifayatul Akhyar mengatakan:
وَالْقَضَاء الَّذِي على الْفَوْر هُوَ الَّذِي تعدى فِيهِ بالإفطار فَيحرم تَأْخِير قَضَائِهِ وَالَّذِي على التَّرَاخِي مَا لم يَتَعَدَّ فِيهِ كالفطر بِالْمرضِ وَالسّفر وقضاؤه على التَّرَاخِي مَا لم يحضر رَمَضَان آخر
Artinya, “Puasa yang harus segera diqadha adalah puasa yang dibatalkan dengan sembrono (sengaja dan tanpa uzur). Qadha puasa seperti ini haram ditunda-tunda. Adapun puasa yang tidak harus segera diqadha adalah puasa yang dibatalkan tidak disebabkan sembrono (karena uzur), yaitu pembatalan puasa karena sakit atau perjalanan Qadha puasa seperti ini boleh ditunda selama belum datang Ramadhan berikutnya,” (Lihat Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Damaskur: Darul Khair, 1994 M], juz I, hal. 207).
Dengan demikian, kita dapat mengetahui bagaimana totalitas dan kebijaksanaan Sayyidah Aisyah dalam melayani suaminya, Nabi Muhammad. Allah memilihkan Nabi Muhammad berupa wanita cerdas bernama Aisyah tentu bukan berupa pilihan sembarangan.
Saking cerdasnya, Al-Hafidz adz-Dzahabi menyanjung Aisyah dalam kitabnya Siyaru A'lamin Nubala':
وَلاَ أَعْلَمُ فِي أُمَّةِ مُحَمَّدٍ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- بَلْ وَلاَ فِي النِّسَاءِ مُطْلَقاً امْرَأَةً أَعْلَمَ مِنْهَا.
Artinya: "Tidak saya ketahui dalam umat Muhammad, bahkan semua wanita secara mutlak, ada wanita yang lebih berilmu daripada Aisyah" (Adz-Dzahabi, Siyaru A'lamin Nubala', [Kairo: Darul Hadits, 2006], juz 3, hal. 428). Wallahu a’lam. (ner/put)
Load more