Anak Buah Hercules 'Ngotot' Mati-matian Ogah Lepaskan Lahan BMKG Karena hal ini: Negosiasi Saja, Tidak Usah....
- YouTube tvOnenews
tvOnenews.com - Sengketa lahan antara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan ormas Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu Jaya (GRIB Jaya) di Pondok Aren, Tangerang Selatan, terus bergulir panas.
Meski aparat kepolisian telah menangkap sejumlah anggota ormas dan membongkar markas mereka di area sengketa, GRIB Jaya tetap menunjukkan sikap tak gentar.
Ormas yang dikenal berada di bawah komando Hercules Rosario de Marshall itu bahkan tetap menyuarakan narasi bahwa mereka berada di pihak yang benar dan memperjuangkan hak rakyat.
Menurut pernyataan Wilson Colling, ketua tim hukum advokasi GRIB Jaya, keberadaan ormas di atas lahan tersebut bukanlah tanpa alasan.
Ia menjelaskan bahwa GRIB Jaya hadir untuk mendampingi dan melindungi pihak yang diklaim sebagai ahli waris sah tanah tersebut.
Dasar keyakinan mereka adalah girik tanah yang menurut mereka masih tercatat resmi di kelurahan.
“Kami menanyakan kepada lurah, apakah girik ini masih tercatat,” ujar Wilson, dikutip dari kanal YouTube GRIB TV, sebagaimana diberitakan oleh tvOnenews.com.
Wilson juga menjelaskan bahwa dalam konteks tanah adat, selama belum memiliki sertifikat, girik tetap menjadi bukti kepemilikan yang sah.
Ia mengungkapkan bahwa pada tahun 2024, pihak kelurahan menyatakan girik tersebut masih tercatat, dan itulah yang mendorong GRIB Jaya untuk terus memperjuangkan klaim mereka.
“Nah itu tercatat, 2024 saya tanya, makanya kami berani maju,” tegasnya.
Bagi GRIB Jaya, sengketa ini sebenarnya tidak perlu menjadi konsumsi publik. Mereka mendorong agar penyelesaian dilakukan melalui jalur musyawarah antara BMKG dan ahli waris.
- Tangkapan layar YouTube GRIB TV
“Jadi semestinya kan tidak usah dihebohkan di ruang publik, ahli waris kan sudah tua-tua, negosiasi saja,” lanjut Wilson.
Di balik keteguhan ormas ini berdiri, ada loyalitas tinggi dari para anggotanya.
Anak buah Hercules bahkan disebut rela mempertaruhkan nyawa demi membela lahan yang mereka anggap sebagai hak rakyat.
Mereka tidak hanya hadir sebagai pengawal lahan, tetapi juga mengelola kawasan tersebut dengan mendirikan posko.
Bahkan hingga menarik biaya sewa dari para pelaku UMKM yang membuka lapak dagangan di sana. Aktivitas persewaan ini yang kemudian oleh banyak pihak dituduh sebagai pungutan liar (pungli).
Namun dari sudut pandang GRIB Jaya, kehadiran lapak-lapak UMKM itu justru merupakan bentuk pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil.
Dalam narasi mereka, keberadaan posko dan lapak dagang di area sengketa adalah bentuk konkret solidaritas terhadap warga dan ahli waris yang selama ini terpinggirkan dalam konflik agraria.
Sengketa lahan ini pun menjadi sorotan karena memperlihatkan tumpang tindih persoalan kepemilikan antara negara dan masyarakat adat.
GRIB Jaya mengklaim memiliki bukti legal berupa girik, sementara BMKG menyatakan sebagai pemilik sah karena status lahan sebagai aset negara.
Konflik ini semakin kompleks karena diwarnai dengan pendekatan kekuatan ormas, penegakan hukum, dan tarik ulur status hukum girik sebagai bukti kepemilikan.
Meski markas mereka telah dibongkar dan aparat telah bertindak, GRIB Jaya tidak menunjukkan tanda-tanda mundur.
Mereka tetap berpegang pada keyakinan bahwa perjuangan mereka berpijak pada dokumen yang sah dan moral keberpihakan terhadap rakyat kecil.
Dalam konteks ini, GRIB Jaya menegaskan bahwa tanpa adanya data dan fakta, mereka tidak akan berani menantang institusi negara.
Seperti ditegaskan Wilson, “GRIB Jaya pun tak akan berani untuk melawan negara jika mereka tidak memiliki data atau fakta yang mendukung.” (udn)
Load more