tvOnenews.com - Kasus pembunuhan tragis yang melibatkan seorang anak berusia 14 tahun di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, mengejutkan banyak pihak.
Pelaku, yang berinisial MAS, diduga menyerang ayahnya, APW (40), dan neneknya, RM (69), hingga tewas. Ibunya juga menjadi korban dalam kondisi kritis.
Hingga kini, penyebab pasti peristiwa tersebut masih menjadi teka-teki.
Dalam pengakuannya, MAS menyebut bahwa ia mendengar "bisikan gaib" yang memengaruhi tindakannya.
Namun, di balik pernyataan itu, berbagai fakta dan analisis psikologis mulai mengungkap penyebab sebenarnya dari tragedi ini.
Kasus ini menunjukkan bahwa faktor kesehatan mental mungkin memiliki peran besar, jauh dari sekadar fenomena mistis.
Selama penyelidikan, ditemukan bahwa MAS pernah beberapa kali dibawa ke psikiater oleh ibunya.
Berdasarkan keterangan teman-teman sekelasnya, MAS kerap tertidur di dalam kelas, sebuah indikasi awal adanya gangguan tidur yang serius.
Psikolog Novita Tandry, dalam program Hotroom bersama Hotman Paris Hutapea, menjelaskan bahwa gangguan tidur yang dialami MAS dapat memicu halusinasi, baik auditori maupun visual.
"Informasi dari teman-temannya bahwa di sekolah, MAS sering ketiduran. Kenapa saya masuk ke gangguan tidur? Karena gangguan tidur itu bisa menyebabkan halusinasi, sama dengan gejala dari psikosis," ujar Novita.
Gangguan tidur yang parah dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup seseorang, bahkan hingga merusak stabilitas mental.
Dalam kasus MAS, ini tampaknya menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi tindakannya.
Menariknya, MAS masih berkomunikasi dengan teman-temannya melalui pesan teks pada malam kejadian. Ia juga sempat mengerjakan tugas-tugas sekolahnya.
Aktivitas ini menunjukkan bahwa sebelum peristiwa tragis tersebut, MAS tampak menjalani kehidupan normal, meskipun sebenarnya ia menyimpan tekanan yang mungkin tak terlihat oleh orang-orang di sekitarnya.
Novita mencatat bahwa kesulitan tidur yang dialami MAS perlu diperiksa lebih lanjut karena gangguan tidur sering kali menjadi gejala dari kondisi psikologis yang lebih serius.
"Rasanya kalau menurut saya dia punya kesulitan untuk tidur sampai ke gangguan tidur yang perlu didalami," jelasnya.
Ketika ditanya apakah MAS mungkin sengaja menutupi tindakan atau kondisi mentalnya, Novita menjawab bahwa ia tidak melihat adanya indikasi manipulasi.
"Dengan apa adanya dia menjawab dan tidak membutuhkan waktu lama, saya melihat ini adalah seorang anak 14 tahun yang sebenarnya sudah menunjukkan tanda-tanda gejala gangguan, tetapi biasanya orang di sekitarnya tidak cukup sensitif untuk menyadari," katanya.
Pernyataan ini menyoroti kurangnya pemahaman dan perhatian terhadap kesehatan mental, terutama pada anak-anak.
Gejala gangguan mental pada usia muda sering kali diabaikan karena dianggap sebagai masalah sementara atau perilaku normal anak-anak.
Kasus MAS menjadi pengingat pentingnya kesadaran akan kesehatan mental, terutama pada remaja yang berada dalam fase perkembangan yang rentan.
Gangguan tidur, halusinasi, dan tekanan emosional yang tidak ditangani dapat berdampak fatal, seperti yang terjadi dalam tragedi ini.
Novita menekankan bahwa perlu adanya kepekaan dari keluarga, dan lingkungan sekitar untuk mengenali tanda-tanda gangguan mental.
"Biasanya orang di sekitarnya tidak cukup sensitif untuk menyadari," ujarnya.
Kasus ini juga menunjukkan bahwa mendengar "bisikan gaib" sering kali bukanlah fenomena mistis, melainkan gejala psikologis yang nyata.
Halusinasi auditori dan visual adalah tanda umum dari gangguan mental seperti psikosis, yang dapat dipicu oleh berbagai faktor, termasuk gangguan tidur.
Sambil menunggu hasil penyelidikan lebih lanjut, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa kesehatan mental adalah bagian penting dari kesejahteraan seseorang. (adk)
Load more