tvOnenews.com - Sebagian masyarakat ibu kota mungkin tidak asing dengan sosok John Kei. Bagaimana tidak, kiprahnya sebagai preman legendaris Jakarta membuat orang mengernyitkan dahi.
Reputasinya sebagai seorang jawara di kawasan Jakarta membuat John Kei harus berulang kali berurusan dengan aparat keamanan.
Maka dari itu, sosok menakutkan yang ada dalam diri John Kei membuat pria bernama asli John Refra tersebut mendapat julukan 'The Godfather'.
Dilahirkan dengan nama John Refra, preman legendaris Jakarta itu berasal dari Pulau Kei, Ambon, Maluku Utara. Ia lahir pada 10 September 1969.
Menurut pengakuan John Kei, dia lahir dari keluarga yang tergolong miskin. Selain itu, sang preman juga harus menerima bully dari seniornya ketika masih kecil.
Dari sinilah awal mula pribadi John Kei terbentuk menjadi seorang yang gemar berkelahi karena sering mendapat bully sejak anak-anak.
“Masa kecil saya setiap pulang sekolah, senior-senior kita adu kita untuk berantem (bully), kalau berantem, kalau satu kalah, udah jadi dua lawan satu, jadi dari kecil saya sebenarnya sudah hobi berantem,” ujar John Kei dikutip dari YouTube Kick Andy Metro TV, Jumat (12/4/2019).
Bukan cuma itu, di depan jurnalis senior Andy F. Noya, John Kei mengatakan kalau sifatnya yang hobi berkelahi semakin menjadi-jadi saat dirinya masuk ke sekolah SMEA.
“Saya di SMEA, seharusnya di STM, dan sebetulnya ini bertentangan dengan keinginan saya, tapi karena orang tua miskin, maka saya sekolah di SMEA, dari situ saya merasa sangat tidak sesuai, makannya saya jadi malah suka berantem-berantem di sekolah, akhirnya sekolahnya putus di SMEA waktu mau naik ke kelas dua,” paparnya.
Setelah berusia 18 tahun, John Kei mengambil keputusan terberat dalam hidupnya. Ia memutuskan untuk merantau ke Pulau Jawa. Kali ini ia hendak mencari peruntungan di Surabaya.
Di usianya yang baru menginjak 18 tahun saat itu, John Kei merasa bahwa untuk keluar dari kemiskinan, dirinya harus mencari penghidupan lebih layak di tempat lain.
Akan tetapi, perjalanan merantau ternyata tak seindah yang dia bayangkan. Belum sampai di Surabaya, ia harus ditangkap petugas kapal karena tak membayar tiket.
Sebagai imbalannya, John Kei kemudian disuruh membantu untuk membersihkan kapal sampai akhirnya merapat ke pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Pun halnya setelah sampai di Surabaya, John Kei terpaksa hidup sebagai gelandangan karena dirinya merasa tidak cocok dengan kerabatnya yang dia tumpangi.
Merasa tak beruntung di Surabaya, John Kei memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Di sana, ia langsung mendapat pekerjaan sebagai security tempat hiburan malam pada 1992.
“Saya jadi security di sana, tempatnya banyak bule-bule, waktu itu ada yang ribut (berantem), saya pisahin, terus saya dipukul dari belakang,” ujarnya.
Tak disangka, niat datang ke Jakarta untuk mencari rezeki justru menjadi petaka untuk John Kei. Ia ditangkap karena tak sengaja membunuh seseorang di sebuah klub malam.
“Akhirnya sempat berantem, polisi datang menyelesaikan, saya kemudian pulang ke rumah, masih penasaran, balik lagi ambil golok, niat saya tadinya, saya enggak mau bunuh dia, cuma mau kasih besutan, ternyata diluar dugaan, parang pas kena leher, dan dia mati,” kenangnya.
Di momen bersamaan, John Kei merasa tidak menyesal atas perbuatan kejinya yang sampai tega menghilangkan nyawa orang lain meskipun saat itu ia baru berumur 22 tahun.
“Waktu itu saya tidak menyesal bunuh orang, saya merasa jago kalau bunuh orang,” ungkapnya.
Selang beberapa waktu, John Kei akhirnya mulai merasakan penyesalan. Dia pun kemudian menyerahkan diri ke pihak kepolisian.
John Kei lantas dijebloskan ke Lapas Nusakambangan. Di sana, preman legendaris Jakarta itu pun memilih untuk kembali ke jalan yang benar.
“Saya dulu tidak pernah ada waktu untuk ibadah. Tapi Nusakambangan membawa Tuhan hadir di diri saya,” tutup John Kei.
(abs/kmr/han)
Load more