Sleman, DIY - Praktisi pendidikan Muhammad Nur Rizal menyebut pendidikan di Indonesia kalah jauh dibanding negara-negara di dunia. Bahkan selama hampir 20 tahun, kemampuan literasi kita berada di bawah kompetensi minimun.
"Kita tahu hampir 20 tahun menurut Program International Student Assessment kemampuan literasi, fundamental thinking, dan kemampuan memecahkan masalah kita itu hampir 70 persen di bawah kompetensi minimum," katanya dalam Festival Sekolah Menyenangkan di BBPPMPV Seni dan Budaya Yogyakarta, Senin (20/12/2021).
Rizal menjelaskan, data lebih ekstrim lagi menyebut jika kemampuan literasi lulusan sarjana di Indonesia masih kalah dibanding lulusan SMP di negara Denmark. Hal ini berdasarkan data dari OECD untuk tes Programme for the International Assessment of Adult Conpetencies (PIAAC).
"Bahkan ketika dites orang lulusan sarjana di Jakarta itu kita tertinggal sekitar 69 persen di bawah kompetensi minimum dan bahkan lulusan sarjana kita (Indonesia) itu kemampuan literasinya di bawah lulusan SMP di Denmark," ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Rizal, dibutuhkan cara tak biasa untuk mengejar ketertinggalan itu. Salah satunya dengan mengubah pola pikir atau mindset dan paradigma pendidikan yang sudah ada.
"Kita ingin bonus demografi tidak menjadi boomerang demografi makanya penduduknya harus produktif, kreatif, penduduknya harus bisa menemukan versi terbaiknya agar bisa punya syarat-syarat menjadi bonus demografi, dan kami meyakini di gerakan sekolah menyenangkan titik balik inilah yang akan menjadi fondasi bagaimana anak-anak dan siswa-siswa di Indonesia bisa menemukan titik sejarahnya," ucap pria yang juga Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) itu.
Sementara itu Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek Wikan Sakarinto mengatakan, pihaknya berencana menerapkan kurikulum baru pada tahun ajaran 2022 mendatang. Saat ini pihaknya tengah menggodok kurikulum yang diberi nama kurikulum prototipe itu agar lebih adaptif terutama untuk jenjang SMK.
Dalam kurikulum baru tersebut nantinya guru dan kepala sekolah adalah kurikulum yang sebenarnya di sekolah. Siswa SMK tidak hanya diajari dengan hard skill tapi juga soft skill dan pendidikan karakter.
"Kalau guru-guru dan kepala sekolah SMK masih dengan pola lama tidak memahami belajar itu tidak sekedar harus ketuntasan target akademik tanpa melihat apakah anak itu passion atau anak itu menghadirkan talenta terbaiknya atau tidak, terlalu kaku pada aturan, pada kejenuhan kurikulum sehingga jatuhnya adalah menciptakan buruh, yaitu hanya mengajarkan hard skill, iya sih SMK dari dulu sudah praktek tetapi sebagai manusia seutuhnya itu belum terwujud secara tuntas karena lebih pada hard skill, kalau mau utuh itu dibutuhkan kompetensi yang lebih tuntas yaitu soft skill, karakter dan hard skill," terangnya.
Wikan mengakui tidak mudah mengubah mindset guru dan kepala sekolah tentang pendidikan yang merdeka. Oleh karena itu pihaknya akan mengajak Gerakan Sekolah Menyenangkan untuk merombak mindset guru dan kepala sekolah SMK.
Tujuannya agar pola pikir guru tidak lagi kaku agar pendidikan yang merdeka bisa terwujud di Indonesia.
"Filosofi dan nilai-nilai yang hakiki bahwa pendidikan itu harus memanusiakan manusia, memberi kebebasan kemerdekaan sehingga anak itu benar-benar hadir dengan bakat terbaiknya, talenta terbaiknya dan gairah yang paling puncak, ini menurut saya kalau secara anggaran tidak terlalu besar, tidak sebesar membangun gedung atau tidak semahal membeli alat tetapi ini tantangan yang sangat berat merubah mindset pemikiran guru dan kepala SMK," pungkasnya. (Andri Prasetiyo/act)
Load more