Bandung, Jawa Barat - Kondisi global yang tidak pasti akibat geopolitik hingga kenaikan harga komoditas berpotensi memicu inflasi tinggi di Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewaspadai ancaman itu.
“Yang perlu kita waspadai adalah inflasi terutama yang didorong harga pangan karena sudah mencapai 11,5 persen,” katanya dalam Konferensi Pers APBN KiTA di Bandung, Kamis (11/8/2022).
Sri Mulyani mengatakan inflasi yang perlu diwaspadai utamanya adalah inflasi pangan atau volatile foods yang lada kuartal II-2022 telah mencapai 11,5 persen.
Selain inflasi pangan, Sri Mulyani juga mewaspadai inflasi yang berkaitan dengan administered price atau harga yang diatur pemerintah dengan realisasi kuartal II mencapai 6,5 persen.
“Tidak semuanya bisa ditahan (inflasi) meski harga BBM Pertalite dan solar, LPG serta listrik masih ditahan,” ujarnya.
Ia menjelaskan meski pemerintah telah menahan beberapa harga seperti BBM jenis pertalite dan solar, LPG serta listrik namun untuk harga energi seperti avtur tetap mempengaruhi inflasi.
Kenaikan harga energi seperti avtur menyebabkan sektor transportasi udara menaikkan harga terutama pada tiket pesawat sehingga berpengaruh pada inflasi.
Pemerintah sendiri telah menaikkan anggaran subsidi energi dari Rp443 triliun menjadi Rp502 triliun sebagai konsekuensi agar tidak menaikkan harga BBM, LPG dan tarif listrik di tengah harga energi dunia yang melonjak.
“Beberapa barang diatur tarifnya oleh pemerintah namun tidak semuanya bisa kita tahan,” tegasnya.
Dana Asing Keluar Dari Indonesia
Pada kesempatan yang sama, Menkeu juga menyebutkan dana asing bersih sebesar 50 miliar dolar AS atau setara Rp738 triliun keluar dari pasar obligasi negara-negara emerging market, termasuk Indonesia, sejak Januari hingga 10 Agustus 2022.
"Dengan volatilitas dan penguatan dolar AS, terjadi aliran modal asing keluar dan kita lihat untuk Indonesia juga menghadapi sama dengan emerging market atau pasar berkembang," kata Menkeu.
Ia menjelaskan keluarnya dana asing dari negara-negara pasar berkembang tentunya akan meningkatkan imbal hasil atau yield serta biaya dana atau cost of fund dari negera-negara tersebut.
Untuk Indonesia sendiri, aliran modal asing yang keluar dari pasar obligasi Tanah Air tercatat mencapai Rp69 triliun sejak Januari sampai Agustus 2022, yang mempengaruhi yield dari Surat Berharga Negara (SBN) RI.
Namun Sri Mulyani mengungkapkan lantaran SBN Indonesia yang dipegang oleh asing saat ini hanya memiliki porsi 15,57 persen, pengaruh modal asing keluar menjadi relatif bisa diminimalkan, meski tetap terpengaruh. Adapun perbankan dan Bank Indonesia masih mendominasi kepemilikan surat utang negara saat ini.
Jika dibandingkan dengan tahun 2019 saat asing masih memegang 38 persen SBN RI, dampak guncangan aliran modal asing keluar akan jauh lebih besar. Dengan demikian, pendalaman pasar keuangan sangat diperlukan untuk stabilisasi pasar keuangan di Tanah Air.
"Makin banyak orang Indonesia yang berinvestasi SBN, pasar keuangan domestik semakin dalam dan tebal sehingga kalau terjadi guncangan seperti sekarang maka guncangan itu relatif tidak menimbulkan gelombang yang besar bagi instrumen keuangan kita. Ini pekerjaan rumah yang akan terus dilakukan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan," kata Sri Mulyani.
Di sisi lain ia mengatakan spread atau jarak SBN RI dengan obligasi AS relatif terjaga di level 433 basis poin (bps)atau semakin menyempit dibandingkan pada awal tahun 2022 yang sebesar 473 bps, di tengah pasar keuangan yang volatil. (ant/ito)
Load more