Nelayan Desak Pemerintah Kembali Membuka Kerja Sama Budidaya Benih Bening Lobster (BBL) dengan Vietnam, Ini Alasannya
- Dok. KKP
Jakarta, tvOnenews.com - Keputusan pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang kembali menghentikan kerja sama budidaya benih bening lobster (BBL) di luar negeri disayangkan sejumlah nelayan.
Mereka menilai langkah ini dilakukan tanpa penjelasan yang memadai dan justru memukul ekonomi pesisir yang selama ini bergantung pada aktivitas penangkapan benur.
Moratorium ini dianggap menghentikan mata pencaharian ribuan pekerja sektor kelautan dan dianggap seakan mengabaikan komitmen investasi dan kerja sama internasional yang telah terjalin.
Kondisi ini lantas memunculkan ketidakpastian usaha serta kerugian bagi masyarakat yang telah mengeluarkan biaya besar demi mendukung kegiatan penangkapan dan budidaya.
Aris Ikhwanda, seorang nelayan asal Krui, Lampung, menyebut moratorium tersebut membuat roda ekonomi pesisir berhenti berjalan. Banyak nelayan yang telah mengeluarkan modal untuk alat tangkap kehilangan pendapatan, sementara para pengusaha budidaya yang membangun keramba, perahu, gudang, dan fasilitas lain menanggung kerugian.
“Kurang lebih 6,4 juta nelayan penangkap BBL kini kembali terancam nasibnya. Kerja sama dan kontrak dagang yang sudah terbangun selama setahun terakhir juga gagal dilaksanakan,” ujar Aris kepada wartawan, Kamis (27/11/2025).
Ia menilai penghentian pengiriman benur bertentangan dengan visi Presiden Prabowo mengenai pembangunan dari wilayah pinggiran dan penguatan sektor kemaritiman.
Menurut Aris, kebijakan tersebut justru memperparah kondisi ekonomi pesisir dan memperlebar angka pengangguran.
“Keputusan ini sama saja mematikan penghidupan jutaan nelayan penangkap BBL dan keluarganya. KKP seharusnya membantu mewujudkan Asta Cita Presiden, bukan menambah beban negara,” imbuhnya.
Aris juga menyoroti penerapan Peraturan Menteri KP No. 7 Tahun 2024 yang dinilai tidak berjalan optimal sejak awal diberlakukan. Menurutnya, sejumlah ketentuan dalam Pasal 3, 4, 5, dan 6 menimbulkan ketidakpastian dan semestinya diperbaiki, bukan dijadikan dasar untuk menghentikan kegiatan usaha melalui moratorium.
Selain itu, biaya layanan Badan Layanan Umum (BLU) KKP dianggap terlalu tinggi, sementara rantai pasok dinilai tidak efisien karena sejumlah koperasi tidak menjalankan fungsi sesuai aturan. Kondisi ini, menurut Rian, merusak iklim investasi dan memperlihatkan ketidakstabilan regulasi di Indonesia.
Penasehat Koperasi Ganesa Laut Nusantara, Sutrisno, turut menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah terhadap maraknya penyelundupan benur. Ia mempertanyakan komitmen KKP sebagai lembaga yang secara hukum bertanggung jawab menjaga populasi dan pemanfaatan benih lobster.
Dari data pengiriman BBL periode Mei 2024–Juli 2025, Forum Komunikasi Koperasi Usaha Benih (FKKUB) mencatat 54.779.430 ekor benur telah diekspor resmi dan menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp219,1 miliar. Namun distribusi resmi tersebut berkali-kali terganggu oleh meningkatnya praktik penyelundupan.
“Nelayan sangat bergantung pada penjualan BBL. Dengan moratorium, mereka tidak punya pilihan selain menjual ke pihak ilegal. Apakah ini yang diinginkan pemerintah? Jika benih lobster ilegal terus mengalir keluar negeri hingga hampir seluruh budidaya Vietnam bergantung pada benur dari Indonesia, maka patut dipertanyakan bagaimana fungsi pengawasan KKP selama ini,” tegas Sutrisno.
Ia juga meminta pemerintah membuka hasil verifikasi independen atas klaim keberhasilan proyek percontohan budidaya lobster di Batam. Produksi panen 1,7 ton yang diumumkan pada September 2025 dinilai tidak sejalan dengan perhitungan berdasarkan jumlah penebaran benih dan standar tingkat kelangsungan hidup.
Sutrisno menilai, jika data tersebut benar, Indonesia seharusnya mampu memperluas model budidaya tersebut ke berbagai daerah. Namun hingga sekarang, Forum Koperasi belum melihat kejelasan rencana lanjutan program tersebut.
Alasan Penghentian Kerja Sama dengan Vietnam
Pada Agustus lalu, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) TB Haeru Rahayu membeberkan alasan penghentian kerja sama budidaya lobster dengan Vietnam.
Saat itu, TB Haeru menyebut kepuutusan itu diambil setelah evaluasi menunjukkan praktik penyelundupan benih bening lobster (BBL) masih marak meskipun sudah ada nota kesepahaman (MoU) antara kedua negara.
Ia memaparkan, penghentian itu dilakukan demi memastikan tata kelola lobster berjalan transparan dan bersih.
"Saat ini pemerintah menghentikan sementara budidaya lobster di luar wilayah Indonesia. Kenapa? Kami melakukan evaluasi dan ternyata hasil evaluasinya belum sesuai dengan apa yang sudah kita harapkan," kata Haeru dalam acara Outlook Tilapia Indonesia 2025 di kantor KKP, Jakarta, dikutip dari CNBC.
Kerja sama dengan Vietnam diketahui sudah memasuki tahun kedua dan disepakati untuk menerapkan sejumlah instrumen teknis yang dievaluasi secara periodik. Namun, hasilnya dinilai belum memberi dampak signifikan bagi Indonesia.
"Kita sudah tahun kedua berjalan, MoU antara Indonesia dengan Vietnam. Ada instrumen-instrumen teknis yang kita sepakati antara kedua belah pihak. Tetapi kami setiap periodik waktu melakukan evaluasi. Ada yang 3 bulanan, ada yang 6 bulanan, ada yang 1 tahun," jelasnya.
Menurut Haeru, salah satu persoalan paling serius adalah masih derasnya arus penyelundupan benih bening lobster (BBL), meski kerja sama resmi sudah ditandatangani.
"Setelah kita evaluasi, ternyata hemat kami belum seperti yang kita inginkan. Maka kemudian kita sepakat untuk melakukan penghentian. Salah satunya, sebagai contoh itu sudah ada MoU tetapi penyelundupan ilegal BBL-nya masih sangat dahsyat," ungkap dia. (rpi)
Load more