Menuju Indonesia Solar Summit 2025, Energi Surya Jadi Senjata RI Tekan Emisi dan Biaya Listrik
- dok.PLN
Jakarta, tvOnenews.com - Pemerintah saat ini mulai menempatkan energi surya sebagai salah satu strategi utama dalam menurunkan emisi sekaligus memenuhi kebutuhan energi di tingkat nasional, daerah, hingga industri.
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) periode 2025-2034, target pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) ditetapkan sebesar 17,1 GW.
Selain itu, Presiden Prabowo Subianto juga meluncurkan program pembangunan 100 GW PLTS yang tersebar di berbagai desa.
Merespons hal tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai rencana tersebut penting untuk terus didorong agr berjalan adil dan berkelanjutan.
Untuk memperkuat komitmen, membangun kolaborasi lintas sektor, serta mempercepat integrasi energi surya dalam sistem energi nasional, IESR bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan menggelar Indonesia Solar Summit (ISS) 2025.
Forum ini diharapkan menjadi wadah gotong royong untuk memastikan pemanfaatan energi hijau secara masif dan inklusif.
Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, menjelaskan pemanfaatan PLTS berkembang dengan pola berbeda di setiap skala, mulai dari elektrifikasi desa, kebutuhan industri, hingga pembangkit utilitas.
Meski begitu, tantangan yang dihadapi hampir serupa, seperti regulasi yang sering berubah, terbatasnya skema pembiayaan, dan lemahnya rantai pasok domestik.
Dalam lima tahun terakhir, Indonesia mulai menunjukkan momntum pertumbuhan PLTS. Regulasi khusus PLTS atap yang lahir pada 2018 mendorong adopsi cepat, terutama di sektor industri, dengan kapasitas mencapai puluhan MW per lokasi. Hingga Mei 2025, kapasitas terpasang PLTS nasional akhirnya melampaui 1 GW.
“Energi surya adalah kunci transisi energi bersih. Dengan potensi lebih dari 7 TW, Indonesia punya peluang besar untuk melompat ke masa depan yang lebih hijau. Momntum ini jangan hanya dimanfaatkan industri besar; PLTS harus hadir juga di sekolah, pesantren, UMKM, hingga rumah tangga,” tegas Marlistya dalam Media Briefing ISS 2025, dikutip Jumat (5/9/2025).
Sejumlah daerah seperti Jawa Tengah dan DKI Jakarta juga mencatat tren positif. Ratusan rumah tangga, UMKM, sekolah, hingga pesantren mulai mengadopsi PLTS atap.
Di sektor industri, pemasangan PLTS menjadi stratgi efisiensi biaya sekaligus memenuhi tuntutan pasar global terkait energi bersih. Momentum ini dinilai perlu diperkuat agar PLTS tidak sekadar berhenti pada proyek percontohan, tetapi berkembang menjadi arus utama energi nasional.
Menurut IESR, percepatan PLTS hanya bisa tercapai jika ditopang kebijakan yang konsisten, akses pembiayaan inklusif, serta keterlibatan aktif masyarakat.
ISS 2025 juga akan menyoroti peran masyarakat melalui aksi nyata komunitas, pemerintah daerah, dan pelaku pasar. Forum ini akan membahas strategi pengembangan energi surya sekaligus membuka ruang investasi dan inovasi dengan mempertemukan dunia usaha, penyedia teknologi, serta pembuat kebijakan.
Dari sisi regulasi, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna, memaparkan pemerintah tengah menyiapkan revisi Peraturan Presiden No.112/2022 dan Permen ESDM tentang PLTS Operasi Paralel. Ia juga mendorong peran pemerintah daerah dalam menyelaraskan tata ruang, memediasi pembebasan lahan, mengalokasikan APBD untuk proyek PLTS di fasilitas publik, serta memberikan insentif bagi pengembangan energi terbarukan.
Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR, menambahkan bahwa sebagian besar dari total 916 MW PLTS terpasang per akhir 2024 berasal dari pembangkit skala besar. Namun, tren baru muncul di sektor industri melalui PLTS atap dengan kontribusi lebih dari 100 MW pada 2024.
“PLTS captive atau PLTS yang digunakan untuk sektor industri menjadi faktor yang meningkatkan daya saing industri Indonesia di pasar global. Dilihat dari perkembangannya, wilayah usaha (wilus) telah meningkat tiga kali lipat sejak 2017 sehingga menjadi peluang besar bagi pemasangan PLTS captive. Pemerintah perlu meningkatkan transparansi dalam perencanaan sistem, data, dan perizinan, misalnya melalui aplikasi,” jelas Alvin.
Ia juga menyoroti peluang ekspor listrik energi terbarukan sebesar 3,4 GW ke Singapura, yang dinilai bisa memperkuat rantai pasok dalam negeri dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) 60 persen. Namun, hal ini perlu didukung dengan kepastian hukum dan kejelasan peran PLN.
Dari sisi industri, kapasitas produksi modul surya Indonesia diperkirakan mencapai 11,7 GWp per tahun dengan beberapa produsen Tier-1 yang sudah berinvestasi. Namun, harga modul lokal masih 30–40 persen lebih mahal dibandingkan impor. Karena itu, insentif seperti pembebasan bea masuk bahan baku dinilai penting untuk menjaga daya saing.
“Untuk mendorong investasi pada rantai pasok, maka penting untuk memastikan adanya permintaan dalam negeri yang konsisten. Selain itu, pemerintah perlu menyiapkan strategi agar aturan TKDN tetap mampu menarik investasi sambil tetap melindungi industri lokal,” tegas Alvin.
IESR menekankan keberhasilan proyek PLTS sangat bergantung pada rantai pasok yang kuat dan dukungan manufaktur domestik. Panel surya berkualitas akan menentukan kelancaran proyek energi terbarukan, baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor.
Tahun ini, ISS 2025 yang merupakan edisi keempat akan mengusung tema “Solarizing Indonesia: Powering Equity, Economy, and Climate Action” yang akan berlangsung pada Kamis, 11 September 2025. (rpi)
Load more