Terjerat Korupsi Satelit Kemhan, Leonardi Bantah Terlibat dalam Penunjukan Navayo
- Facebook Kementerian Pertahanan
Jakarta, tvOnenews.com - Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi selaku tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan user terminal di Kementerian Pertahanan (Kemhan), menyatakan tidak terlibat dalam penunjukan Navayo International AG sebagai pihak ketiga dalam pengadaan barang dan jasa di proyek tersebut.
Hal ini secara resmi disampaikan langsung oleh kuasa hukum Leonardi, Rinto Maha, dari Kantor Hukum Lazzaro Law Firm.
"Penunjukan Navayo selaku pemenang adalah wewenang Pengguna Anggaran dan telah disampaikan akhir tahun 2015 pada rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo pada saat itu," ujar Rinto melalui keterangan tertulis kepada tvOnenews.com, Senin (28/7/2025).
Rinto menegaskan, kliennya kala itu menjabat sebagai Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemhan dan bertindak hanya sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK). Menurutnya, Leonardi tidak memegang otoritas dalam pengambilan keputusan strategis proyek.
“Seluruh perencanaan, persetujuan alokasi anggaran, dan pengesahan kontrak berada pada otoritas Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),” sambungnya.
Kemudian, kata Rinto, Leonardi justru menunjukkan kehati-hatian dalam menjalankan tugasnya. Pasalnya, Leonardi telah mengirimkan surat ke Navayo pada awal 2017 untuk menghentikan pengiriman karena struktur pelaksanaan proyek belum lengkap.
Selain itu, Leonardi disebut telah menggagas adendum kontrak sebagai langkah administratif untuk mengoreksi pelaksanaan proyek.
Terkait dengan penunjukan Navayo, Rinto menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan penuh Pengguna Anggaran. Sebagaimana dijelaskan, penetapan Navayo bahkan telah dibahas dalam rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo pada akhir 2015.
Lebih jauh, Rinto membantah klaim bahwa Leonardi menandatangani kontrak dengan Navayo sebelum adanya alokasi anggaran dari Kemhan.
“Leonardi hanya melaksanakan penandatanganan kontrak setelah DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) tersedia, yakni pada Oktober 2016, bukan 1 Juli 2016 pada saat anggaran belum ada,” katanya.
Kemudian, Rinto mengklaim tidak ada pembayaran satu sen pun kepada Navayo dan tidak terdapat kerugian negara yang bersifat aktual.
Kuasa Hukum dari tersangka Leonardi itu mempertanyakan dasar hukum Kejaksaan Agung dalam menetapkan Leonardi sebagai tersangka.
Ia menyebutkan bahwa Kejagung merujuk pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tertanggal 2 Agustus 2012.
Dalam laporan tersebut, memang disebutkan adanya tagihan senilai sekitar 16 juta dolar AS dari Navayo, namun belum pernah dibayarkan oleh Kemhan. Seluruh potensi kerugian negara pun bersifat estimatif.
Padahal, menurut Rinto, Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, menyatakan bahwa kerugian negara dalam tindak pidana korupsi harus bersifat nyata dan pasti, bukan asumsi.
Ia juga menyoroti keabsahan Certificate of Performance (CoP) yang digunakan Navayo untuk mengklaim pembayaran. Menurutnya, dokumen tersebut tidak ditandatangani oleh pejabat yang memiliki otoritas.
“Sesuai Permenhan Nomor 17 Tahun 2014, pihak yang berwenang untuk memeriksa dan menerima hasil pekerjaan penyedia adalah Panitia Penerimaan Hasil Pekerjaan yang diangkat oleh Pengguna Anggaran, bukan klien kami,” jelas Rinto.
“Perlu digarisbawahi, diterimanya barang dari penyedia tidak sepengetahuan klien kami dan (Leonardi) tidak menyetujui penerbitan CoP tersebut,” tambahnya.
Sebelumnya, pada tanggal 7 Mei 2025 lalu, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Leonardi sebagai salah satu dari 3 tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pengadaan user terminal untuk satelit slot orbit 123 BT (bujur timur) di Kemhan ada tahun 2016 pada Mei 2025.
Direktur Penindakan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil) Kejagung Brigjen TNI Andi Suci mengatakan bahwa Leonardi selaku PPK di Kemhan menandatangani kontrak kerja sama dengan GK selaku CEO Navayo pada 1 Juli 2016.
“Perjanjian untuk penyediaan terminal pengguna jasa dan peralatan yang terkait (Agreement For The Provision Of User Terminal And Related Service And Equipment) senilai 34.194.300 dolar AS dan berubah menjadi 29.900.000 dolar AS,” katanya.
Pada posisi itu, Kejagung menyampaikan bahwa penandatanganan kontrak kerja sama tersebut dilakukan tanpa adanya anggaran Kemhan.
Disclaimer: Melalui penerbitan berita ini, redaksi tvOnenews.com telah memenuhi kewajiban pemenuhan hak jawab atas 3 berita yang telah tayang sebelumnya, dengan judul:
1. "Kronologi Kasus Korupsi Satelit Keamanan dan Navayo, Kejagung Bongkar Peran 3 Tersangka" (website tvonenews.com),
2. "Kejagung Jerat 3 Tersangka Korupsi Proyek Satelit di Kemhan | Kabar Pagi tvOne" (televisi dan YouTube),
3. "[BREAKING NEWS] Dugaan Korupsi Pengadaan Satelit di Kemhan | tvOne" (televisi dan YouTube). (rpi)
Load more