Fenomena Rojali: Gaya Hidup ‘Nongkrong Irit’ di Mal Jadi Sorotan BPS dan Pemerintah
- Freepik/lifestylememory
“Sekarang memang trennya kebanyakan ke mal itu makan. Makanya banyak mal yang memperbanyak kuliner,” ujar Airlangga.
Ia juga menambahkan bahwa belanja masyarakat sudah banyak berpindah ke platform daring (online). Oleh sebab itu, diperlukan strategi agar pusat perbelanjaan tetap hidup. Salah satunya adalah melalui event diskon atau promosi musiman.
“Ini diupayakan pemerintah untuk mendorong ada event baru lagi untuk diskon. Kita persiapkan untuk Nataru (Natal dan Tahun Baru) akhir tahun nanti,” katanya.
Gambaran Sosial Baru: Nongkrong Sebagai Kebutuhan
Dalam konteks yang lebih luas, fenomena Rojali dan Rohana menjadi cerminan dari pergeseran budaya konsumen di Indonesia. Di satu sisi, mal tetap menjadi ruang publik yang menyenangkan dan aman bagi semua kalangan. Di sisi lain, daya beli yang tidak sebanding dengan antusiasme berkunjung menciptakan ketimpangan antara jumlah pengunjung dan nilai transaksi.
Tren ini bisa jadi sinyal perubahan pola konsumsi jangka panjang — dari konsumtif menjadi selektif. Ini bukan hanya masalah daya beli, melainkan juga soal prioritas hidup dan cara masyarakat bertahan di tengah tekanan ekonomi.
Rojali dan Rohana: Viral Tapi Harus Dicermati Secara serius
Fenomena Rojali dan Rohana bukan sekadar istilah viral yang lucu di media sosial. Di balik kelucuan itu, tersembunyi realita ekonomi yang perlu dicermati secara serius. Baik pelaku usaha maupun pembuat kebijakan perlu mengadaptasi strategi agar tetap relevan dan efektif menjawab kebutuhan konsumen zaman sekarang — yang mungkin lebih suka “lihat-lihat dulu” daripada langsung beli. (nsp)
Load more