Sri Mulyani Wanti-wanti Indonesia Kena Imbas Konflik Global: Inflasi Naik, Ekonomi Melemah
- YouTube/Kemenkeu
Jakarta, tvOnenews.com — Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, memperingatkan meningkatnya ketidakpastian perekonomian global yang dipicu oleh berbagai tekanan, mulai dari konflik Iran–Israel, kebijakan fiskal ekspansif Amerika Serikat (AS), hingga perang dagang AS–China yang tak kunjung usai.
Menurutnya, proposal kebijakan fiskal AS yang dikenal sebagai big and beautiful dapat menambah defisit anggaran negara adidaya itu lebih dari US$10 triliun dalam 10 tahun terakhir. Kebijakan tersebut turut memicu sentimen negatif terhadap fiskal negara maju.
“Pelemahan ekonomi berdampak buruk, sementara kenaikan inflasi mendorong naiknya imbal hasil (yield) obligasi,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2025).
Ia menjelaskan, dua faktor utama yang harus diwaspadai saat ini adalah ketegangan geopolitik dan konflik keamanan serta ketidakpastian perdagangan global. Kedua hal itu telah menyebabkan gangguan serius pada rantai pasok komoditas dunia (supply chain), menimbulkan dua risiko besar bagi perekonomian global.
Pertama, ketidakpastian harga, terutama harga energi seperti minyak, yang cenderung meningkat. Kedua, tekanan inflasi yang terjadi bersamaan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi global, yang dikenal sebagai stagflasi.
Sri Mulyani menyebut, kondisi geopolitik maupun kebijakan fiskal negara-negara besar memberikan dampak negatif ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, karena ikut mendorong volatilitas nilai tukar dan suku bunga global.
Dampaknya, sektor ekonomi mulai terguncang, terutama sektor manufaktur. Data Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur global per Mei 2025 menunjukkan angka 49,6—terendah sejak Desember 2024. Sebanyak 70,8 persen negara mengalami kontraksi manufaktur, termasuk Indonesia yang hanya mencatatkan PMI 47,4.
“Risiko bagi Indonesia juga patut diwaspadai. Melemahnya ekonomi global akan berdampak pada barang-barang ekspor Indonesia,” tegasnya.
Saat ini, hanya 29,2 persen negara yang masih mencatatkan ekspansi di sektor manufaktur, seperti India, Arab Saudi, AS, Australia, dan Rusia. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakpastian geopolitik dan keamanan global telah memukul aktivitas ekspor-impor, produksi manufaktur, hingga mendorong arus modal keluar (capital outflow) secara global.
Selain itu, Sri Mulyani mencatat adanya volatilitas nilai tukar rupiah dan peningkatan suku bunga utang akibat legislasi ekspansi fiskal yang sedang dibahas di Kongres dan Senat AS.
Load more