Adian Soroti Pungutan di Aplikasi Ojek Online, Dasar Hukum Aplikator Ojol yang Tarik Biaya Tambahan Dipertanyakan: Nilainya Bisa Rp8,9 Triliun
- Antara
Jakarta, tvOnenews.com - Anggota Komisi V DPR RI Adian Napitupulu menyoroti praktik pungutan yang dilakukan perusahaan transportasi online di luar potongan komisi dari driver/pengemudi.
Adian menegaskan pentingnya dasar hukum yang sah dalam setiap bentuk penarikan biaya kepada konsumen.
Anggota DPR dari PDIP itu mengungkap, tidak dapat dibenarkan jika perusahaan aplikasi mengutip biaya tambahan hanya bermodalkan kebiasaan atau kelaziman dalam industri.
Ia mengingatkan, Indonesia adalah negara hukum, sehingga semua pungutan harus memiliki legitimasi yang jelas.
Hal itu disampaikan Adian sebagai tanggapan atas praktik pungutan seperti biaya platform, biaya perjalanan aman, dan biaya hijau yang dibebankan kepada pengguna jasa aplikasi transportasi.
Menurutnya, dalih “kelumrahan” tidak bisa dijadikan alasan hukum untuk membenarkan pungutan tersebut.
"Sebagai negara hukum, kita sama-sama tahu bahwa 'lumrah' bukanlah dasar hukum bagi siapapun untuk dibiarkan memungut uang secara terorganisir, masif, terus menerus, dan dalam jumlah yang sangat besar," ujar Adian dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Sabtu (14/6/2025).
- tvOnenews.com/Julio Trisaputra
Isu ini mencuat usai konferensi pers yang digelar aplikator bersama Menteri Perhubungan (Menhub) pada 19 Mei lalu.
Pada kesempatan itu, diketahui bahwa konsumen dibebani biaya di luar potongan komisi 20 persen dari pengemudi.
Aplikator berkilah bahwa biaya tambahan seperti Platform Fee atau biaya layanan aplikasi merupakan hal yang wajar dalam ekosistem bisnis digital.
Wakil Ketua Badan Aspirasi Masyarakat DPR RI itu menjelaskan, dalam tampilan aplikasi ketika memesan layanan roda dua, sering muncul rincian biaya tambahan seperti Rp2.000 untuk jasa aplikasi, Rp1.000 untuk biaya perjalanan aman, dan Rp500 untuk biaya hijau.
Ketiga pungutan ini, menurutnya, tak berasal dari pemotongan komisi pengemudi, melainkan langsung dibebankan kepada pengguna dengan alasan praktik umum di industri.
Untuk mengilustrasikan potensi pendapatan dari pungutan tersebut, Adian mengacu pada data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam forum diskusi dengan Badan Aspirasi Masyarakat DPR.
Data itu menyebut ada sekitar 7 juta pengemudi daring yang aktif menggunakan aplikasi transportasi, baik untuk kendaraan roda dua maupun roda empat.
"Biar mudah menghitungnya, kita anggap saja semuanya menggunakan angka-angka motor atau roda dua, yaitu Rp2.000 biaya jasa aplikasi, Rp1.000 biaya perjalanan aman, dan Rp500 biaya hijau, atau rata-rata total sekitar Rp3.500 per sekali perjalanan," ujar Adian.
Ia memperkirakan, jika setiap pengemudi hanya melakukan satu perjalanan per hari, maka ada 7 juta konsumen yang terkena biaya tambahan tersbut. Artinya, dalam sehari, total pungutan bisa mencapai Rp24,5 miliar.
"Dari angka-angka tersebut, total per harinya bisa mencapai Rp24,5 miliar, atau sekitar Rp8,9 triliun per tahun," lanjutnya.
Adian mengakui, estimasi tersebut masih bersifat kasar karena hanya didasarkan pada asumsi.
Ia mnyebut bahwa data pasti masih belum dapat diakses publik karena pihak aplikator belum membuka secara rinci sistem perhitungan dan penerimaan mereka.
Karena itu, ia berharap pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) mendatang, pihak aplikator bisa menyampaikan data secara transparan agar angka yang disampaikan lebih dekat dengan kenyataan.
Ia juga menegaskan bahwa jumlah pemasukan yang disebutkan belum termasuk potongan komisi yang diatur berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
"Semoga terbayang jika yang lumrah dan yang berdasarkan hukum digabungkan, maka jangan heran jika kita akan temukan angka yang sangat fantastis diterima Aplikator," pungkasnya. (ant/rpi)
Load more