Terkuak! Lima Perusahaan Kuasai Tambang Nikel di Raja Ampat, Hutan Papua Terancam
- dok. Kementerian ESDM
Jakarta, tvOnenews.com – Di balik reputasinya sebagai kawasan konservasi kelas dunia, Kabupaten Raja Ampat kini menghadapi tekanan serius dari industri ekstraktif. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa terdapat lima perusahaan tambang yang mengantongi izin dan menjalankan aktivitas usaha pertambangan di wilayah tersebut.
Kelima perusahaan itu adalah PT Gag Nikel, PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Nurham. Dari jumlah tersebut, hanya satu perusahaan yang telah beroperasi secara penuh dan berstatus Kontrak Karya (KK), sementara sisanya berada dalam tahap eksplorasi, pengembangan, atau tidak aktif secara produksi.
PT Gag Nikel: Satu-Satunya yang Telah Produksi, Dikuasai BUMN
PT Gag Nikel tercatat sebagai satu-satunya perusahaan tambang di Raja Ampat yang saat ini telah aktif memproduksi bijih nikel. Berdasarkan data aplikasi Mineral One Data Indonesia (MODI), perusahaan ini memiliki wilayah izin seluas 13.136 hektare, dengan nomor akta perizinan 430.K/30/DJB/2017 yang berlaku hingga tahun 2047.
Pada awalnya, kepemilikan saham mayoritas dipegang oleh entitas asing Asia Pacific Nickel (APN) Pty. Ltd asal Australia sebesar 75%, sementara 25% sisanya dimiliki oleh PT Aneka Tambang (Persero) Tbk atau Antam. Namun sejak tahun 2008, Antam telah mengambil alih seluruh kepemilikan saham, menjadikan perusahaan ini berada di bawah kendali penuh BUMN sektor pertambangan tersebut.
PT Gag Nikel juga termasuk dalam 13 perusahaan yang diperbolehkan melanjutkan operasi di kawasan hutan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan. Status ini memberikan legitimasi atas operasional mereka di wilayah yang sejatinya merupakan kawasan lindung.
PT Anugerah Surya Pratama: Investasi Asing di Tanah Papua
Berikutnya, PT Anugerah Surya Pratama (ASP) beroperasi di Pulau Manuran, Kabupaten Raja Ampat. Perusahaan ini berstatus Penanaman Modal Asing (PMA) dan merupakan anak usaha dari PT Wanxiang Nickel Indonesia, yang diketahui memiliki keterkaitan dengan Vansun Group, sebuah grup pertambangan asal Tiongkok.
Kehadiran ASP memperlihatkan besarnya peran investasi asing dalam pengelolaan sumber daya nikel di Papua Barat. Meski beroperasi di wilayah sensitif ekologis, perusahaan ini tetap memperoleh izin eksplorasi dan produksi yang menunjukkan lemahnya pengawasan atas investasi strategis di sektor sumber daya alam.
PT Kawei Sejahtera Mining: Pemain Baru dengan Konsesi Ribuan Hektare
Didirikan pada Agustus 2023, PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) berdasarkan Keputusan Bupati Raja Ampat Nomor 210 Tahun 2013. Luas konsesi yang diberikan kepada perusahaan ini mencapai 5.922 hektare.
KSM juga telah memperoleh Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dan tercatat mulai melakukan pembukaan lahan pada tahun 2023. Aktivitas penambangan resmi dimulai pada 2024. Dengan kemunculan yang terbilang baru, KSM menjadi salah satu perusahaan yang beroperasi cepat dalam mengakses kawasan hutan untuk tujuan pertambangan.
PT Mulia Raymond Perkasa: Eksplorasi Diam-diam di Pulau Kecil
PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) memiliki konsesi seluas 2.194 hektare, mencakup wilayah Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele di Distrik Waigeo Barat Kepulauan. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup, perusahaan ini belum memiliki PPKH, namun telah memulai aktivitas eksplorasi sejak 9 Mei 2025.
Proses eksplorasi dilakukan melalui pengoperasian 10 mesin bor coring untuk pengambilan sampel. Meski belum memasuki tahap produksi penuh, keberadaan kamp pekerja dan aktivitas pengeboran menunjukkan bahwa proses industrialisasi kawasan pulau-pulau kecil Raja Ampat telah dimulai.
PT Nurham: Izin Ada, Aktivitas Tidak Terlacak
Perusahaan terakhir dalam daftar adalah PT Nurham, yang meskipun terdaftar sebagai pemegang izin usaha pertambangan di Raja Ampat, tidak memiliki catatan publik mengenai kegiatan produksi nikel. Informasi resmi yang tersedia hanya menunjukkan bahwa perusahaan ini terdaftar dalam sistem pengadaan elektronik Pemerintah Provinsi Papua.
Tidak terdapat rincian terkait nilai kontrak, jumlah paket proyek, maupun aktivitas tambang yang berjalan. Minimnya transparansi menimbulkan pertanyaan serius mengenai status dan legalitas operasional perusahaan tersebut di lapangan.
Raja Ampat dalam Ancaman Nyata Ekspansi Tambang
Keberadaan lima perusahaan tambang di Raja Ampat menunjukkan bahwa ekspansi industri pertambangan tidak mengenal batas wilayah ekologis. Kawasan yang selama ini dipandang sebagai ikon konservasi laut dan keanekaragaman hayati global, kini tengah dihadapkan pada risiko degradasi lingkungan yang signifikan.
Meskipun sebagian perusahaan telah mengantongi izin resmi dari pemerintah pusat maupun daerah, pertanyaan besar tetap muncul: Apakah proses perizinan tersebut mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan hak masyarakat adat setempat?
Dengan luas konsesi yang mencapai puluhan ribu hektare, serta keterlibatan modal asing dalam penguasaan sumber daya alam, langkah mitigasi kerusakan lingkungan menjadi tanggung jawab mendesak bagi pemerintah pusat dan daerah. Jika tidak diawasi dengan ketat, Raja Ampat bukan hanya kehilangan potensi ekologisnya, tetapi juga kepercayaan dunia terhadap komitmen Indonesia dalam menjaga kelestarian Papua. (nsp)
Load more